Articles

Mengenang Hari Kesaktian Pancasila?

Masih jelas dalam ingatan ketika saya masih SD, film tentang penghianatan G-30 S/PKI garapan Arifin C.Noer yang ditulis naskahnya oleh Nugroho Notosusanto. Film yang dalam masanya cukup mempengaruhi otak saya bahwa PKI adalah pelaku pemberontakan yang kejam dan tak berperikemanusiaan yang membantai 7 pahlawan revolusi. Juga masih kuat dalam kepala saya, ketika saya kelas dua SD di tengah perjalanan di bis kota di tengah kota Jakarta, saya bertanya kepada ibu saya dengan lugu, “mam, PKI itu apa sih?” Ibu saya kemudian berkata, “hush!!!”. Saya tak tahu apa salah saya, namun kata PKI adalah kata yang haram dan seram untuk disebut di tempat-tempat umum. Saya tak menyadari bahwa penyebutan PKI itu lebih dari sekedar perilaku yang lebih kejam dari setan, namun juga merujuk pada traumatis massal yang pernah dirasakan oleh masyarakat pada tahun 1965.

Saya pun masih ingat dalam perbincangan antar tetangga, jika kemudian ada warga yang tak suka dengan perilaku orang lain yang dianggap hina, maka ia akan mudah menyebut perilakunya sama seperti anggota PKI. Atau jika ada seorang wanita yang dianggap suka menghina dan tukang fitnah maka ia akan dijuluki sebagai Gerwani. Orang tak peduli bahwa Gerwani adalah organisasi perempuan modern pertama di Indonesia yang berbicara tentang wanita androgini yang merubah perspektif gender dari wanita sumbadra ke wanita srikandi.

Setiap kali ada pergolakan yang menuntut keadilan yang tidak bisa diredakan rezim orde baru, maka pemerintah dengan mudah akan menuding bahwa gerakan tersebut adalah gerakan yang dilakukan dengan “cara-cara PKI”. Tudingan “cara-cara PKI” tersebut secara langsung atau tidak kemudian cukup ampuh menjauhkan dukungan masyarakat atas gerakan yang menuntut keadilan. Orang takut disebut sebagai PKI. Sederhananya, PKI adalah komunis. Komunis bukanlah manusia, dan bukanlah hewan. Komunis itu identik dengan setan yang kejam dan berperilaku lebih rendah dari hewan. Propaganda sistematis bekerja bak mekanisme panoptic yang menancap pada alam bawah sadar masyarakat sehingga setiap individu merasa diawasi dimanapun mereka berada. Efeknya pembicaraan di ruang publik yang berbau kekiri-kiran apalagi soal PKI diterima sebagai hal yang bertentangan dengan norma kebenaran dan harus dijauhi demi keselamatan pribadi.

Bukan dalam kapasitas keilmuan saya kemudian untuk membahas dari sudut historis tentang siapa yang benar dan yang salah dalam peristiwa tersebut. Ahli sejarah tentunya lebih punya kapasitas untuk membahas benang kusut situasi politik dibalik peristiwa tersebut. Namun sedikit merujuk pada data yang mengatakan bahwa lebih dari 1,5 juta orang meninggal dalam peristiwa genocide di antara tahun 1965-1968 tersebut. Ribuan orang dipenjarakan dan dibuang ke Pulau Buru tanpa proses peradilan.

Pembunuhan massal tersebut tentunya bukan hal yang mudah bagi masyarakat untuk melupakan. Mayat yang hanyut di sungai dan yang bergeletakan di tepi jalan menimbulkan efek traumatis bagi siapapun yang hidup dijamannya. Beberapa cerita tetangga dan saudara di Kediri mengatakan bahwa Sungai Brantas pernah menjadi lautan mayat dari orang-orang yang menjadi kader, simpatisan, atau orang yang sekedar apes dituduh saja. Jaman itu tak pandang bulu, ketidaksukaan terhadap tetangga bisa berakibat pada ditudingnya seseorang sebagai PKI. Bahkan hanya karena solidaritas antar tetangga, orang bisa kehilangan kepala. Seseorang tetangga yang berbaik hati membantu menyalakan lampu di acara Lekra yang kebetulan diadakan di depan rumahnya mau tak mau menjadi korban penyembelihan massal di tahun 1965 hingga 1966. Jaman itu menjadi satu sejarah gelap yang membutakan nurani manusia sehingga penyembelihan terhadap manusia yang juga merupakan saudaranya sendiri adalah benar dan tak berdosa. Mereka berkata bahwa yang disembelih bukanlah manusia, yang disembelih adalah PKI. Efek indoktrinasi sistematis telah berhasil sampai ke relung-relung hati. Ironisnya, sebagian manusia Indonesia di era reformasi masih percaya bahwa sejarah misterius dan kelabu tersebut adalah mutlak dalang dan pelakunya serta genocide tersebut merupakan hal yang lumrah adanya.

Singkat cerita, saya berkesempatan untuk belajar di Rusia pada tahun 2008 hingga tahun 2011. Banyak orang yang mempertanyakan Negara pilihan studi saya baik dari keluarga ataupun kolega. Kekhawatiran mereka tentunya adalah terkait dengan sisa-sisa komunisme yang kemungkinan dapat mempengaruhi isi kepala saya. Mereka khawatir saya akan menjadi generasi komunisme baru yang juga kejam dan tak berperikemanusiaan.

Pesan dari orang terdekat tak bisa disalahkan karena isi kepala orang telah diindoktrinasi secara sistematis melalui propaganda orde baru dan juga propaganda perang dingin film-film Hollywood. Hapalan pelajaran disekolah dari SD sampai SMA menekankan bahwa komunis menjadi pengganggu perjuangan bangsa dan menghianati perjalanan bangsa ini sebanyak dua kali. Komunisme tak pernah punya kontribusi apa-apa dalam sejarah Indonesia. Bahkan nama Indonesia yang notabene disebut pertama kali dalam dunia akademis barat oleh sarjana Rusia Alexander Hubber pada tahun 1930 juga dihapus dalam literatur sejarah kita (baca tulisan Supartono & Rahman 2005: Studi Indonesia di Rusia: Sebuah Rumah Sejarah yang. Alpa Disinggahi). Penyebutan nama dan peran Tan Malaka dikecilkan dan tak punya arti apa-apa dalam sejarah bangsa. Stereotipe terhadap komunis dibuat, sehingga seakan-akan orang yang hidup dalam sistem komunis dianalogikan berperilaku tak seperti manusia namun sama seperti iblis. Film-film propaganda seperti Rocky Balboa juga menggambarkan bahwa Ivan Draco yang berasal dari Soviet adalah orang yang dingin, licik, dan kejam. Film produksi Hollywood menggambarkan bahwa KGB adalah mafia dan CIA adalah pahlawan dunia. Alhasil melalui aparatus kekuasaannya, stereotype bahwa komunis adalah bengis dan haus darah semakin terinternalisasi dalam kesadaran dan dianggap menjadi satu kebenaran mutlak yang tak terbantahkan.

Selama periode saya belajar di Rusia, saya berkesempatan secara langsung menyelami bagaimana dinamika perubahan masyarakat dari masyarakat komunis beralih menjadi masyarakat bebas yang kapitalistik (nanti saya tulis dalam artikel lain). Saya berkesempatan untuk bergaul dengan orang-orang yang dianggap pernah beridiologi palu arit ini sebagai manusia biasa tanpa ada kacamata ideologi yang menyertainya. Saya melihat langsung kehidupan mereka sebagaimana saya melihat manusia yang sama dengan manusia lain di dunia ini. Banyak pertanyaan yang saya lontarkan secara naif pada saksi hidup yang pernah merasakan hidup di jaman Uni Soviet.

Orang tak banyak tahu, dalam kungkungan rezim di jamannya, ternyata nilai spiritualisme dan religiusitas tetap hidup di kalangan masyarakat. Pembaptisan dilakukan diam-diam. Ikon-ikon orang suci Kristen ortodoks pun tetap tersimpan di rumah sebagai simbol kesucian, perlindungan, dan keselamatan. Tak banyak pula yang tahu, bahwa dalam situasi perang patriotik melawan nazisme jerman yang menewaskan lebih dari 30 juta penduduk soviet pada rentang antara 1941 hingga 1945, para komandan tempur lapangan tentara merah tak kuasa menahan hasrat para prajuritnya yang ingin memasrahkan jiwanya kepada Tuhan-nya. Prajurit tentara merah membawa ikon orang suci kristen ortodoks ataupun membaca kalimat tauhid bagi yang muslim. Bahkan selepas kunjungan Soekarno ke st. Petersburg pada tahun 1956 (ketika itu bernama Leningrad), Soekarno dengan gaya diplomasinya yang unik dengan Nikita Kruschev menyebabkan pemerintah komunis setempat membuka kembali tanpa syarat masjid biru untuk peribadatan umat muslim yang telah lama dijadikan gudang. Konon pula Makam Imam al Bukhori di Uzbekistan dibuka kembali atas permintaan Soekarno kepada ketua partai komunis setempat.

Begitu banyak pula cendekiawan-cendekiawan yang bukan partisan partai dikirim ke Soviet untuk belajar dan tak bisa pulang pasca G-30 S. Pulang ke Indonesia hanyalah membuat hidup mereka semakin sulit. Beberapa dari mereka yang memutuskan pulang harus ‘dijemput’ di bandara oleh rezim berkuasa. Tak pernah sampai mereka bertemu sanak saudara karena ujung nasibnya hanyalah tinggal nama yang tidak diketahui dimana nisannya. Pernah ada masa dimana halaman KBRI di Moskow pun menjadi haram untuk dilangkahi oleh para warganya sendiri. Anak-anak bangsa ini pun kehilangan induk semang. KBRI sebagai tempat mengadu tak lagi mau menerima mereka. Mereka tak punya pilihan untuk tetap berada di Unisovyet dan menjadi stateless. Walau selangkah demi selangkah mereka kemudian mendapatkan status kewarganegaraan Uni Sovyet. Keinginan untuk kembali ke Indonesia haruslah mereka kubur, demi keselamatan diri dan juga demi menjaga keselamatan saudaranya di Indonesia. Mereka menyadari bahwa rezim tak lagi melihat mereka sebagai manusia namun sebagai hantu karena telah memilih Uni Sovyet sebagai tempat belajar mereka. Kapasitas mereka sebagai golongan intelektual terpelajar dari Indonesia juga dihapus walaupun mereka jauh dari afiliasi partai politik tertentu.

Pernah satu ketika, ada seorang dosen Fisika di tempat saya belajar yang bernama Vasily yang bertanya kepada saya,
“Benarkah hari di tahun 65 dulu, semua orang-orang komunis digiring ke dalam hutan dan disembelih tanpa proses peradilan?” Saya jawab iya.

Dia bertanya lagi kepada saya, “Apakah itu benar yang melakukan adalah masyarakat anda dan bukan hanya militer? dan apakah pembunuhan itu dianggap benar oleh sebagian masyarakat Indonesia ketika itu?“ Saya jawab benar.

Lalu ia bertanya lagi, “kenapa justru masyarakat anda menjadi bagian dari penyembelihan anggota masyarakatnya sendiri?” Saya jawab karena menjadi berbeda dengan rezim akan menjadi korban penyembelihan itu sendiri.
“Seandainya saya ketika itu ada di Indonesia, apakah kira-kira saya akan dibunuh juga?” Saya jawab besar kemungkinan ya.

Dia kemudian meminta tanggapan saya, “bagaimana tanggapan orang Indonesia dengan dia yang pernah menjadi bagian dari sistem komunisme jika sekarang ia berada di Indonesia?” Saya menjelaskan bahwa jaman telah berubah. Sebagian dari masyarakat Indonesia telah memahami bahwa kenyataan sejarah G-30 S adalah misteri yang sulit diungkapkan siapa pelaku utamanya. Selain itu sebagian masyarakat memahami bahwa genocide atas nama apapun merupakan hal yang keji. Masyarakat ketika itu hanya menjadi korban dari propaganda politik bahwa komunisme adalah bagian dari sistem yang haus darah dan tak mengenal agama sehingga halal darahnya untuk dihabisi.

Dia lalu meminta respon saya lagi, “saya hidup dan lahir dalam sistem komunis namun saya adalah penganut Kristen ortodoks sejak lahir?” Apakah saya juga tetap akan dihabisi walau saya mengatakan saya adalah Penganut Ortodoks. Saya jawab jika anda adalah bagian dari komunisme, terlepas dari anda adalah penganut agama yang saleh, atau anda adalah seorang yang baik terhadap sesama maka besar kemungkinan anda juga tidak terselamatkan.

Saya menjelaskan kepadanya bahwa yang terjadi adalah bukan masalah benar atau salah dalam perspektif nilai-nilai kemanusiaan yang universal atau kesalehan individual, tapi permasalahan hegemoni politik rezim yang memformulasi baik dan benarnya perilaku tertentu. Hegemoni politik rezim tak mengenal anda sebagai seorang Kristen ortodok yang taat, namun jika anda bersentuhan dengan hal yang bertentangan dengan ideologi rezim (dalam hal ini adalah ideologi marxis) maka anda tidak bisa tidak harus dimusnahkan oleh rezim. Anda tak dilihat lagi berdasarkan kesalehan individu, tapi dilihat berdasarkan afiliasi, kedekatan, dan relasi politik, sekalipun relasi itu dibuat-buat. Hegemoni rezim ini menentukan siapa sebenarnya anda, dan bagaimana karakter anda, terlepas itu adalah berkebalikan dari kenyataan sebenarnya. Dalam kebenaran ideologi politik kita tak sedang berbicara tentang kebenaran asasi.  Ini adalah hal yang sama sebagaimana Stalin membantai jutaan orang sebangsanya dan membuang lawan politiknya ke kamp kerja paksa Gulag di Siberia.

Obrolan ringan di tengah makan siang ini, membuat pikiran saya sejenak melayang. Andai saja perbincangan itu terjadi di tahun 1965 di Surabaya dengan orang yang sama. Kira-kira apa yang kemungkinan bakal terjadi? Vasily adalah seorang yang menjadi bagian dari sistem komunis dan juga penganut Kristen ortodoks sekaligus. Vasily punya keluarga bahagia. Saya melihat dia sebagai bapak yang romantis walaupun telah berusia senja. Sebagai seorang bapak dan kakek ia pun hangat terhadap anak dan cucunya. Tak ada raut kebengisan sedikitpun diwajahnya. Saya pun merasa betah untuk berbicara dengannya. Ia pun selalu mengawali kegiatannya dengan berdoa dan merayakan paskah dan hari trinitas di gereja. Lalu saya berpikir, andai saja orang ini adalah orang Indonesia yang hidup di tahun 1965, akankah orang ini kemudian menjadi korban penyembelihan pula? Atau bisa jadi justru saya yang pernah bercakap-cakap dengan Vasily menjadi korban penyembelihan massal di kala itu.

Selama saya studi disana, saya-pun mempunyai beberapa teman yang tak beragama. Mereka tak hanya orang Rusia. Mereka adalah orang Amerika, Prancis, Ceko, dan Jerman. Tapi ternyata tak beragama tak berarti mereka tak punya spiritualitas dan tak mampu menghargai hak-hak dasar manusia. Hidup mereka tetap memegang aturan dan prinsip tertentu serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kepercayaan mereka terhadap Tuhan berada dalam ranah personal (walau tak diinstitusikan dalam agama) namun termanifestasi dalam hal penghormatan terhadap alam dan sesama. Lalu jika mereka berada di Indonesia di tahun 1965, akankah mereka lolos dari genocide? Bagi saya besar kemungkinan mereka akan lolos dari genocide. Karena terlepas dari mereka yang tidak percaya dengan agama, namun secara ideologis mereka bukanlah komunis.

Rezim telah memberikan cap bahwa segala sesuatu yang berbau kiri dan marxis adalah bahaya laten. Musuh sebenarnya adalah bukan masalah agama atau tidak beragama. Tidak ada orang Indonesia yang menganggap prancis adalah musuh walaupun jelas sebagian orang perancis adalah atheis. Doktrin ditekankan pada masalah ideologi dan diperkuat dengan simbol-simbol dan makna agama yang telah direkonstruksi ulang.

Apapun hari ini adalah hari yang masih diperingati pemerintah sebagai hari kesaktian dan kemenangan pancasila dari pengkhianatan ideologi lain. Simbol kesaktian pancasila diciptakan sebagai aparatus rezim bahwa ada hari yang harus terus diingat dengan meninggalnya 7 jenderal pahlawan revolusi yang dibunuh secara keji dan wafat demi mempertahankan simbol pancasila. Orang diminta untuk mengingat satu kejadian pembunuhan dan membenarkan kekejian lain. Sekaligus orang dibuat merasa wajar jika pernah ada jutaan orang yang disembelih, dibuang di pulau buru, dipisahkan secara paksa dengan sanak saudaranya, dan diperlakukan anak keturunannya sebagai warna negara kelas dua pasca 1 oktober 1965. Lalu sebenarnya apa hakikat peringatan 1 oktober ini.

Bagi saya, Hari ini adalah hari yang melegitimasi pelanggaran terhadap Pancasila itu sendiri, terutama sila kedua. Hari ini adalah hari pengkhianatan pancasila itu sendiri. Hari dimana orang mempunyai pembenaran atas perilaku tak manusiawi dan tak beradab dengan melakukan genocide 1,5 juta orang yang belum tentu bisa dipersalahkan. Hari dimana manusia merasa tak berdosa untuk merampas hak-hak hidup sebagian masyarakat Indonesia dan anak keturunannya tanpa ada satu peradilan dan keadilan.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*