Articles

Menghadirkan Keseharian untuk Kegelisahan

Kalau ada mata kuliah yang membuat aku kurang tidur dan banyak merenung dalam adalah sejarah psikologi dan aliran psikologi (SAPsi). Yang kubayangkan adalah bagaimana menyampaikan materi yang begitu padat pada mahasiswa yang baru lulus SMA yang tak pernah mendapatkan dasar apapun tentang sejarah ide dalam psikologi. Bahkan penguasaan mereka tentang konsep-konsep dasar psikologi saja mereka masih mentah.

Sejarah dan aliran psikologi sendiri merupakan mata kuliah yang bertujuan untuk memahami zeitgeist, anteseden, pokok bahasan, kritik, dan kontribusi aliran-aliran tertentu dalam psikologi. Sementara aliran psikologi yang dibahas sangat padat terkait embrio kelahiran psikologi mulai dari spirit renaissance, spirit pengetahuan abad ke 17, fisiologi dalam psikologi, wundt, hingga perkembangan aliran-aliran kontemporer dalam psikologi.

gambar diambil dari http://www.papermasters.com/philosophy-questions.jpeg

Pembahasan yang padat menjadi semakin rumit karena sejak dari awal kelahirannya hingga saat ini perdebatan sengit terkait subject matter psikologi tak pernah berhenti. Dari setiap pertemuan ke pertemuan lain mahasiswa yang fresh baru lulus SMA ini dihajar dengan begitu banyak konsep sekaligus kepalanya dibentur-benturkan dengan pertikaian subjek matter psikologi. Materi yang begitu padat dengan konsep menjadi noise dengan pertarungan ide yang tak pernah usai. Belum usai pemahaman mereka akan sejarah yang sekedar dianggap kumpulan peristiwa, fakta, dan ide-ide, lalu kepala mereka dibuat bingung dengan kritik-mengkritik apakah subject matter psikologi berhubungan dengan kesadaran, pengalaman, proses mental, perilaku, ataukah jiwa? Jadilah mereka zombie yang dituntut untuk hafal namun bingung dan mengais-ngais bagaimana sistematika ide dikonstruksi dan direkonstruksi dalam sejarah psikologi.

Pertanyaannya kemudian perlukah segala kekayaan aliran dan semua nama serta peristiwa tadi diajarkan pada mahasiswa baru yang belum punya pengetahuan apa-apa tentang psikologi? Apakah penting meminta mereka untuk menghafal detil-detil aliran, ide, nama, dan peristiwa?  Apa hal yang penting dapat diajarkan dalam sejarah ide?

Bila mau jujur untuk mengevaluasi diri dari tahun ke tahun maka tak bisa dipungkiri bahwa mata kuliah ini tergolong berat dan padat. Berat karena materinya memang berat, sekaligus raw materialnya adalah mahasiswa baru. Bahkan statistik menunjukkan bahwa hasil akhir yang diperoleh mahasiswa bisa dibilang tak cukup memuaskan. Mahasiswa kemudian terjebak pada hafalan nama, ide dan peristiwa. Sejarah terlanjur dipahami sebagai sejarah kronologis yang penuh dengan fakta peristiwa yang harus dihafal. Aku sendiri tak begitu yakin bahwa bagi mereka yang telah mendapatkan nilai bagus pun, bukan jaminan mereka mampu mengingat spirit-spirit dalam sejarah aliran psikologi selepas ujian.

Disini kemudian aku mencoba untuk melakukan eksperimentasi dengan mengubah pola pengajaran SAPsi dalam ruang kelasku pada beberapa pertemuan. Tak penting untuk mengajarkan sebuah peristiwa, namun penting untuk menghadirkan kegelisahan ide yang termuat dalam sejarah pemikiran dengan menghadirkan spirit keseharian yang bersifat personal dalam ruang kelas. Sejarah ide bukan sekedar menghadirkan nama-nama dan peristiwa, bukan pula sekedar menghadirkan fakta sejarah tapi menghadirkan kegelisahan sejarah. Sejarah bukanlah fakta tapi merupakan rekonstruksi peristiwa yang interpretatif.

Apa yang kulakukan hanyalah eksperimentasi yang aku sendiri tak tahu apakah akan berhasil atau tidak. Bagiku ketika mengajarkan zeitgeist atau semangat zaman yang mendasari aliran tertentu, mesti ada immediate experience di kelas tentang zeitgeist atas munculnya suatu ide tertentu dalam psikologi. Ini bukan sekedar menjelaskan bagaimana teori rasionalisme, empirisme, materialisme yang terpampang dalam slide kuliah, namun menghadirkan spirit kesehariannya di dalam kelas. Menghadirkan imajinasi terdekat atas rasionalisme, empirisme, materialisme, atau apapun dengan hal-hal yang terjangkau oleh indera dan otak mereka dan dekat dengan ruang personal mereka. Setelahnya baru kemudian menghadirkan kegelisahan tokoh-tokoh kunci dalam aliran psikologi yang dekat dengan keseharian mereka.

Aku memulainya dengan problem kebenaran sebagaimana dalam filsafat ilmu logika. Pemetaan singkat tentang apa yang mereka percayai tentang kebenaran. Mengapa sesuatu dipercaya oleh mahasiswa menjadi benar dan mengapa sesuatu dipercaya menjadi tidak benar. Setiap orang dalam ruang kelas pasti punya valuenya sendiri atas kebenaran-kebenaran yang mereka yakini, sungguhpun kebenaran yang mereka jabarkan itu bersifat common sense dan personal. Awalnya pertanyaanku dianggap kecil, bodoh, dan tak penting dalam ruang kelas, namun apapun dan sebagaimanapun jawaban mereka kuanggap cukup mampu memetakan value mereka atas kebenaran itu sendiri. Pemetaan value personal mereka atas kebenaran yang beraneka ragam ini menjadi penting untuk menarik benang merahnya dengan berbagai macam teori-teori kebenaran yang ada dalam ilmu pengetahuan.

Satu ketika di ruang kelas aku menghadirkan problem tentang cinta dan bahagia. Begitu sulit mereka mendeskripsikan bahagia dan cinta yang berliku dan menjelajah ke dalam relung-relung ruang personal. Namun sesulit apapun mereka mampu mendeskripsikannya dengan bahasa-bahasa naïf. Pertanyaan kapan dan bagaimana cinta itu hadir biasanya dibahas dengan semangat, seru, dan konyol. Pertanyaan konyol yang tak jauh dari keseharian namun ternyata cukup ajaib dalam menghadirkan gairah tertentu atas pemahaman-pemahaman baru. Kasus-kasus kecil (misal seperti apakah cinta dan bahagia hadir dalam bentuk yang sama dalam konteks ruang dan waktu yang terus berubah) justru dapat menjadi dasar untuk membuka pemahaman tentang spirit rasionalisme (bahkan dalam konteks tertentu bisa kuarahkan dalam konteks pemahaman aliran idealism). Bila memang arahnya adalah pemahaman tentang konsep rasionalisme, maka sebagian waktu perkuliahan kuarahkan perlahan dengan konsepsi bahwa pengetahuan seperti rasa cinta dan bahagia tadi adalah sesuatu yang innate. Pengalaman empiris hanyalah menjadi pemicu untuk mendekatkan dengan pemahaman atas kebenaran yang sudah kita ketahui di dalam diri.

Kadang untuk memperjelas kuhadirkan pula objek apapun yang ada di depanku. Dalam satu kuliah pernah kuambil kertas. Kuminta mereka mendeskripsikan apa yang kuambil. Sepakat mereka menyebutnya sebagai kertas. Kuminta mereka menuliskan ciri-ciri kertas. Setelah mereka sepakat, kemudian kuremat kertas tadi menjadi tak berupa. Kusobek-sobek kertas tadi dan kumasukkan ke dalam air. Kuminta mereka menyebutkan apa yang kumasukkan ke dalam air. Sepakat mereka menyebutkan bahwa itu masih kertas. Kulempar sebuah pertanyaan lagi? Bagaimana mereka masih percaya bahwa itu adalah kertas ketika wujud kertas itu sudah berubah bentuk dan jauh dari ciri-ciri yang mereka sebutkan sejak dari awal tadi. Disini lagi-lagi kusinggung tentang kepercayaan seorang Descartes yang rasionalis. Descartes yang percaya bahwa pengetahuan murni ada di dalam kepala dan tak berubah hakekatnya walaupun bentuk dan ciri-ciri empirisnya telah berubah. Dari sini kemudian aku beranjak tentang kegelisahan Descartes. Bagaimana Descartes mengatakan bahwa problem pengetahuan adalah soal mendekatkan realitas kebenaran di luar sana dengan hakikat kebenaran yang innate dalam pikiran manusia. Bagaimana Descartes menjadi penting. Bagaimana Descartes menjadi simbol filsuf yang lahir untuk mengganti kebenaran pengetahuan yang berpusat pada rasio yang sebelumnya berpusat pada dogma.

Disaat beberapa mahasiswa menjadi gandrung dengan pola kebenaran rasionalisme Cartesian. Aku bisa menaruh sebuah permen di ruang kelas dan kemudian kuminta mahasiswaku untuk mendeskripsikan apa yang mereka lihat? Dan aku berulang kali menanyakan kepada mereka, bagaimana mereka yakin bahwa yang mereka lihat adalah benar-benar objek yang mereka lihat? Dalam jawaban-jawaban mereka rata-rata ada sebuah kejengkelan terhadap diriku yang menanyakan hal-hal yang tak penting. Namun kejengkelan ini menjadi sebuah titik tolak pemahaman baru bahwa dari sebuah objek permen tadi, kami dapat memetakan bersama-sama bahwa kepercayaan dengan objek adalah persepsi pengalaman inderawi atas objek yang hadir terus menerus. Pengalaman indrawi yang hadir terus menerus atas objek  membuat mereka menyebut objek tersebut sebagai permen. Disinilah kemudian problem empirisme masuk dalam kepala mereka. Satu saat tertentu mungkin problem kertas yang telah dibuang kedalam air (sebagaimana kuceritakan dalam paragraph sebelumnya) kupertanyakan lagi, “Benarkah itu adalah soal mendekatkan pengalaman empiris dengan hakikat kebenaran yang innate dalam pikiran?” “Ataukah itu hanyalah problem kebiasaan?”. Disanalah kemudian sedikit demi sedikit pudar kekaguman mereka dengan Descartes dan kemudian mereka menjadi percaya bahwa kebenaran adalah soal kebiasaan yang datang dari pengalaman indrawi yang terus menerus.

Berangkat dari maping atas problematika yang berasal dari keseharian timbullah pemahaman. Setelah muncul satu pemahaman baru, benturkan problematika yang sama tadi dengan mengarahkan mereka untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Muncullah kegelisahan baru, lalu muncul pemahaman baru lagi. Pemahaman ini kemudian menjadi sebuah kebenaran yang teryakini. Setelah mereka meyakini goncangkan lagi dengan immediate experience. Aku percaya bahwa setiap objek adalah multitafsir. Dan yang terpenting objek itu harus dihadirkan tak hanya diilustrasikan secara verbal.

Satu pertanyaan kemudian muncul. Bagaimana kemudian mengajarkan semangat zaman atau zeitgeist dalam SAPSi? Bukankah apa yang kujelaskan tadi adalah simplifikasi dan mereduksi materi yang seharusnya diajarkan? Bukankah penjelasan tadi adalah penjelasan filsafat ilmu dan bukan SAPsi?

Pemikiran memang lahir dari semangat zaman yang berbeda. Permasalahannya kemudian, apakah ruang kuliah hanya menjadi transfer pengetahuan akan zeitgeist tiap-tiap tokoh dan aliran psikologi sebagaimana yang ditulis di buku text book? ataukah justru menghadirkan kegelisahan akan zeitgeist? Harapanku dari stimulasi kehadiran atas keseharian yang sederhana (yang lebih dari sekedar ilustrasi verbal), mereka akan bertanya bahwa ada sesuatu yang eksotik dibalik kesederhanaan objek. Sebagaimana cinta dan bahagia tak hanya sekedar. Permen tak hanya sekedar objek. Kertas tak hanya objek. Mereka adalah bagian dari psyche yang dicerap setiap manusia. Berangkat dari eksotisme berpikir atas keseharian, mereka bisa diarahkan untuk diajak berpikir bagaimana mereka (para filsuf itu) mau untuk berpikir ‘kurang kerjaan’ seperti itu? Ada apa dibalik jaman kehidupan para filsuf itu? Ujung-ujungnya cerita sejarah yang personal maupun yang sosial, budaya, dan politikpun menjadi menarik. Tak sekedar karena sistem politik negara dan budaya dominan yang berpengaruh terhadap sejarah pemikiran namun pertemuan-pertemuan personal tokoh-tokohnya juga mempengaruhi suasana batin dan kegelisahan pribadi yang menjadi dasar lahirnya ilmu psikologi.

Mengajarkan spirit mekanistik dalam ilmu adalah tak sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip Galilean-newtonian. Newton dan Galileo mungkin begitu jauh dari kehidupan orang-orang. Mereka hidup 400 tahun lalu. Yang terpenting adalah bagaimana menghadirkan kegelisahan Newton dan Galileo  menjadi bagian dari kegelisahan mereka. Bagaimana menghadirkan kepercayaan mereka atas zat, ruang, gerak, dan waktu yang teratur menjadi bagian dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana meyakinkan mereka bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan mereka mempunyai sebuah pola dan struktur tertentu, termasuk perilaku dan pikiran mahasiswa itu sendiri. Bagaimana segala sesuatu yang terstruktur mekanis adalah bagian dari erotika keseharian mereka. Bahkan diskusi terarah tentang laki-laki ideal dan wanita ideal, ujung-ujungnya dapat ditarik menjadi satu benang merah, bahwa kriteria yang mereka buat tentang laki-laki ideal dan wanita ideal mencerminkan pola dan struktur tertentu. Apapun bisa menjadi objek dan media di kelas sepanjang itu menyentuh ranah keseharian dan personal. Bila toh kemudian ada anomali dalam diskusi dapat pula dipahami dengan perspektif lain. Namun  objek-objek yang ada dalam dunia sebenarnya dapat dipersepsikan dengan cara apapun.

Menghadirkan immediate experience atas materialisme mekanisme, idealisme, rasionalisme, dan empirisme yang berasal dari pencerapan pengalaman keseharian subjektif individu adalah penting untuk membangun pemahaman dan menstimulasi keingintahuan. Mengajar adalah soal membangun erotisme ingin tahu. Mengajar adalah untuk membangkitkan getar-getar kegundahan dan bukan sekedar membuat mereka menjadi tahu. Getar-getar kegundahan ini tak bisa jauh dari ranah keseharian mereka. Orang tak akan gundah bila ruang keseharian yang personal itu tak pernah disentuh. Titik tekannya adalah bagaimana mengaitkan hal-hal yang sederhana dan keseharian tadi menjadi eksotisme dan kegelisahan personal. Bila sudah menjadi  personal maka muncullah sebuah atraksi untuk membuat mereka berkepentingan untuk mencari eksotika pengetahuan. Erotisme ilmu tak bisa jauh dari erotisme diri sendiri.

Aku ingat pembahasan SAPsi terakhir minggu ini adalah soal titchener. Minggu lalu adalah soal Wundt. Pembahasan soal Titchener yang diawali oleh presentasi mahasiswa begitu kering karena hanya kaya dengan konsep-konsep namun minim dengan sentuhan keseharian. Mahasiswa mulai menguap. Beberapa mulai mengantuk. Dan sisanya mulai tidur. Pembahasan soal strukturalisme Titchener terbang kesana kemari. Bahkan setelah mahasiswa presentasi aku bertanya lagi, “Adakah diantara kalian yang bisa menjelaskan apa contoh kongkrit dan bagaimana elemen-elemen kesadaran seperti yang dikatakan oleh Titchener?” Tak ada satupun yang bisa menjawab. Jawaban mereka kemudian hanya common sense yang meraba-raba.

Dua orang mahasiswa kemudian kusuruh maju. Aku meminta mereka untuk menutup mata. Kuletakkan di tangan mereka sebuah objek benda yang mereka tak tahu apa. Aku minta mereka mendeskripsikan apa yang mereka sentuh dengan mata terpejam. Mereka berkata bahwa mereka menyentuh sesuatu yang bulat, panjang, agak lengket. Satu dari subjek mengatakan bahwa mereka sepertinya menyentuh permen. Aku kemudian meminta mereka untuk mengulum benda (yang disangka permen) yang ada ditangannya. Mahasiswa penonton kemudian tertawa. Beberapa berteriak dengan celetukan kecil, “wah kalau yang ditelan penghapus bagaimana pak?”. Dari sana aku minta mereka (2 orang mahasiswa tadi) untuk mendeskripsikan lagi sensasi mereka ketika objek tadi dikulum. Ada yang bilang objek tersebut berasa asam agak manis-manis, agak basah, dll.

Dari hal kecil tadi aku meminta mahasiswaku untuk kembali ke tempat dan menjelaskan singkat apa itu elemen sadar dan apa itu stimulus error. Elemen kesadaran adalah immediate experience ketika mereka mengatakan bulat, panjang, manis. Sementara pengetahuan mereka atas permen justru menjadi distraktor untuk mengetahui elemen-elemen sadar sebagaimana apa yang dikatakan Titchener sebagai stimulus error. Stimulus error adalah sebagaimana mereka kemudian tak mengeksplorasi elemen-elemen sadar dari penginderaan mereka atas objek-objek fisik, tetapi terdistraksi oleh konstruksi pengalaman dan pengetahuan mereka atas permen, bahwa sudah seharusnya permen itu berasa manis dan asam. Hal ini membuat konsentrasi mereka berubah, dari fokus untuk mengobservasi elemen kesadaran menjadi rekonstruksi pengetahuan yang mereka ketahui sebelumnya.

Aku kemudian meminta lagi orang-orang sekelas untuk memejamkan mata. Aku meminta mereka membayangkan sesuatu yang bulat, panjang, lembek, manis. Setelahnya aku meminta mereka untuk melaporkan apa persepsi mereka atas hal tersebut. Sulit kemudian bagi mereka untuk membuat satu kesepakatan tentang apa yang ada di kepala mereka tentang bulat, panjang, lembek, dan manis. Persepsi mereka lemah. Sangat lebih mudah bila mereka dapat mengasosiasikannya dengan benda. Dan benda yang diasosiasikan antara satu mahasiswa dan yang lain berbeda. Namun ketika aku meminta mereka membayangkan coki-coki imajinasi mereka mendadak seragam, bahwa coki-coki adalah bulat, panjang, lembek, dan manis. Mungkin menjadi lebih menarik jika saja aku meminta mereka membayangkan wanita putih, berbaju putih, tinggi, mancung, dan tersenyum manis. Mungkin satu dari persepsi mereka akan mengatakan itu adalah kuntilanak atau bisa jadi Angelina Jolie berbaju putih. Apapun stimulasi atas elemen-elemen kesadaran membuat mereka bermain dengan persepsinya sendiri-sendiri. Namun ketika aku meminta mereka untuk membayangkan sherina berbaju putih, maka mereka serempak mempunyai pengalaman perseptual kongkrit atas Sherina. Pemahaman bersama di kelas tadi membuat aku beranjak untuk menjelaskan lagi tentang Hume, Berkeley, dan Mill. Lalu sedikit menjelaskan bagaimana Titchener sempat hidup dalam lingkungan tradisi inggris namun dibesarkan dalam lingkungan akademik jerman.

Satu hal simple kemudian yang kemudian membuat gelisah beberapa mahasiswa. “Pak, lantas apa gunanya mengumpulkan elemen-elemen sadar terhadap kesadaran manusia itu sendiri?” Satu kegelisahan yang membuat aku bisa sedikit mengulas materi sebelumnya tentang wundt, juga tentang spirit mekanistik, materialisme, reduksionisme, dan empirisme. Dalam hati, tak peduli berapa nilai mahasiswa itu nanti, aku pun hormat dengan mereka. Bukankah pertanyaan mereka serupa dengan  Brentano dan para ahli gestalt terhadap pendekatan strukturalisme Titchener.

Setelah kuliah berakhir terpikir lagi olehku apa yang sebenarnya perlu kita hadirkan di kelas. Apakah materi yang padat yang kemudian akan dilupakan setelah ujian? Ataukah melibatkan mereka dalam kegelisahan melalui intermediate experience diri sendiri dalam satu cuplik materi?

10 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*