Memoir

Mengenang Serial Little House on the Prairie

Tulisan ringan yang pernah kuterbitkan di satu halaman jejaring sosialku tanggal 7 februari 2011. Selamat membaca 🙂

—-

Untuk kesekian kali aku lihat serial tv jaman aku masih kecil dulu, Little house on the prairie. Umurku ketika itu sekitar 4 atau 5 tahun. Kalau tidak salah, film diputar minggu siang jam setengah tiga.

Yang paling aku ingat dari film ini adalah bagian openingnya dimana bapak dan ibu sedang di atas kereta kuda tertawa bahagia yang melihat ketiga anaknya sedang berlarian di padang rumput luas. Dan hupp… si anak yang paling kecil jatuh. Cerita selebihnya tentunya ketika itu aku masih tak mengerti. Sekitar pertengahan SD sepertinya serial itu sempat diputar lagi di TVRI (kalau tidak di TPI), dan aku sedikit-sedikit mulai mengikuti serial keluarganya.

Akhir-akhir ini ada dorongan untuk mendownload habis 203 episode serial keluarga ini. Dan taraaa!!! akhirnya dapat. Dan hampir setiap hari lantas kuluangkan waktu 45 menit untuk melihat episode demi episode cerita.

Keluarga Ingals dalam Little House On The Prairie (Seri 5)

Ceritanya soal keluarga bahagia dan bersahaja di Amerika Serikat yang hidup di abad ke 19. Bapak yang bertanggung jawab, Ibu yang penuh kasih sayang, dan anak-anak yang ingin tahu dan peduli dengan lingkungan sekitar. Konflik keluarga selalu dapat dilalui dengan kebersamaan.

Sehabis melihat episode serial itu, aku jadi melamun sendiri. Indah sepertinya hidup di jaman dulu. Aku katakan ‘sepertinya’ karena memang aku tak sedang hidup di jaman itu. Atau pastinya ini bisa jadi efek hiperealitas film ya. Seperti kata Iwan fals yang pernah bilang kisah cinta bahagia ya adanya di dalam komik. )

Dulu orang sepertinya bila ingin pindah rumah tinggal naik kereta kuda dan memilih di bukit atau di padang rumput mana dia ingin tinggal. Suami istri bekerja bersama membuka lahan. Kalau sekarang memang tak bisa sekenanya memilih bukit untuk tinggal karena tanah mesti dipetak dulu di kantor agraria dan mesti bayar kredit pula bertahun-tahun. Pastinya setiap jaman punya tantangannya sendiri-sendiri.

Apapun, serial itu menunjukkan bagaimana suami dan istri bekerja dan bertanggung jawab secara langsung untuk keluarga. Bapak yang menggarap ladang dibantu ibu. Bapak mencangkul dan ibu menyiram bibit. Bapak berburu dan ibu memasak hasil buruan. Hasil dari apa yang mereka kerjakan diladang akan mereka nikmati  di masa panen. Apa yang mereka kerjakan semakin menguatkan ikatan keluarga satu sama lain. Bahkan cara keluarga tradisional bekerja yang secara kasat mata terlihat bulir-bulir peluhnya, secara tak langsung ikut mendidik anak untuk bertanggung jawab terhadap diri, keluarga dan lingkungannya.

Keluarga Ingals adalah kisah nyata

Walau ceritanya penuh fantasi keindahan persis seperti pelajaran membaca di jaman aku kelas satu SD dulu (Aku ingat jaman SD dulu aku diajari mengeja dengan kalimat-kalimat bahagia, “Ibu memasak. Bapak menyabit rumput. Adik membantu ibu), namun ada satu hal yang mengusik pikiranku sekarang. Apakah mungkin tanggung jawab pekerjaan manusia modern secara langsung ditujukan untuk kelangsungan hidup keluarganya sendiri?  Pastinya saat ini manusia tetap dan harus bekerja, namun seringkali pekerjaan modern membuat sekat komunikasi antar orang-orang yang dekat secara intim menjadi semakin tebal, tak tembus, dan asing.

Saat ini probabilitas mencapai impian ekonomis dan prestasi pribadi memang terbuka bagi siapapun yang mau bekerja. Deadline diatur , waktu lembur ditambah namun ketika hasil diperoleh maka hasil tadi adalah hasil pribadi bukan hasil kolektif. Pasangan satu bekerja disana, pasangan yang lain bekerja disitu. Walaupun toh penghasilan antar keluarga modern bisa digabung tapi toh ada intensitas proses komunikasi yang hilang di antara keluarga modern dibandingkan dengan keluarga tradisional. Kentang yang dimakan bukan kentang yang dicangkul tanahnya oleh bapak, dan disebar bibitnya oleh ibu, atau dipetik hasilnya oleh anak-anak. Apa yang dimakan sekarang kebanyakan adalah hasil dari pekerjaan bapak dan pekerjaan ibu secara terpisah tanpa anak-anak tahu bagaimana prosesnya.

Atau bahkan jangan-jangan, bapak dan ibu walau penghasilannya digabung, namun mereka tidak tahu bagaimana proses satu sama lain dalam mendapatkan rejeki. Yang pasti mereka mungkin tahu kalau si ibu bekerja di A si bapak bekerja di B. Tapi yang terpenting hasil dari penghasilan bapak dan ibu adalah sama-sama menghasilkan makanan. Proses dimana mereka mendapatkan hasilnya tak begitu penting, karena yang penting satu sama lain sudah bisa beli bahan pangan, syukur-syukur makanan mewah. Tapi mereka hanya tahu bagaimana membeli makanan mewah, tapi esensi dari bagaimana harmoni makanannya bisa jadi terlupakan. Seberapa dari kita yang hanya menelan dan mengecap apa yang kita makan, tanpa pernah membayangkan bahwa hadirnya makanan tersebut juga membutuhkan proses yang panjang. Proses ini bukan cuma proses hadirnya ikan di meja makan yang asalnya dari kerja keras nelayan, tetapi juga proses ketika orang tua bersimbah peluh mencari uang hingga berhasil membeli ikan.

Kenyataan itu kemudian ditambah dengan kebanyakan manusia modern yang tak punya pilihan lain kecuali untuk bekerja di ‘ladang’ orang lain. Atau tidak bisa tidak menanggung kredit bunga berbunga bahkan untuk memilih sepetak tanah yang ingin digarap atau ditinggali. Lalu orang tak lagi bekerja secara langsung untuk keharmonisan keluarganya sendiri, namun untuk  menambah keuntungan orang lain yang menguasai alat produksi, plus membanting tulang menanggung beban hutang atas sepetak tanah yang ingin ditempati. Lalu apa yang bisa dilakukan manusia modern selain kata sibuk yang tak pernah luang. Bisa jadi deadline-deadline dalam pekerjaan modern tak ada hubungannya secara langsung dengan harmonisasi keluarga, bahkan mungkin justru ‘menjauhkan’ diri dari keluarga.

Serial Little house on the prairie ini memang membuat pikiranku menjadi sedikit naïf. Aku mesti menyadari pekerjaan yang dilakukan manusia semakin menjauh dari sifat alamiahnya. Apapun manusia modern yang hidup di jaman kapitalisme seperti tak punya pilihan lain. Walau utopis, mau tak mau aku harus mengakui mungkin ada beberapa kata Marx yang benar adanya. Dan masyakat modern yang teralienasi seperti kata Erich Fromm juga bukan omong kosong. Tapi apa yang bisa dilakukan, selain melihat manusia modern yang bekerja untuk dirinya sendiri dan mendapat rejeki yang berlimpah justru semakin banyak menyumpahi hari-harinya. Termasuk mengutuki datangnya hari senin.

Akhirnya selamat hari senin

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*