Ini adalah cerita soal pengalaman mengajar yang baru-baru ini terjadi. Pengalaman yang awalnya membuat saya merasa bersalah, tertekan, namun sekaligus membuat saya lega atas apa yang saya lakukan.
S1 saya adalah konsentrasi psikologi sosial dan S2 saya juga mengambil konsentrasi yang sama. Saya tak pernah sekalipun kemudian mempelajari bagaimana dasar dan pembuatan kurikulum beserta proses pembelajaran dan model pembelajaran masyarakat. Keterdamparan saya dalam mata kuliah Psikologi pendidikan masyarakat bisa jadi dikarenakan ada kata “masyarakat” dalam mata kuliah tersebut. Desain dibagikan dan saya kemudian diplot untuk mengajar beberapa materi dalam mata kuliah tersebut. Aspek pilihan pribadi atas “keterdamparan” saya juga mempunyai persentase yang besar dikarenakan keberadaan saya dalam mata kuliah tersebut juga dikarenakan ketidakmampuan saya dalam menolak dan memilih sesuatu.
Kesibukan saya untuk pembuatan database, evaluasi dan persiapan penerbitan jurnal, persiapan kuliah lain, membuat untuk mempelajari hal baru tentunya membutuhkan waktu ekstra di luar rutinitas. Saya berusaha keras untuk mempelajari materi ajar yang asing bagi saya sebelumnya. 2 minggu saya belajar tentang kurikulum berbasis masyarakat dan model pembelajarannya. Saya sulit mendapatkan feelnya. Semakin saya membaca text-booknya, justru semakin saya bingung dengan model kurikulum berbasis masyarakat. Waktu semakin mendesak dan saya harus memberikan materi tentang hal tersebut.
Perang batin, apakah saya harus menjadi ahli psikologi pendidikan masyarakat dalam waktu dua minggu ataukah saya harus mengatakan bahwa saya-pun masih pemula dalam hal ini. Memang benar mahasiswa adalah rekan belajar, namun tetap saja terdapat ego untuk mempunyai sense of competence atas suatu hal terutama dalam membawa materi tertentu yang saya ampu. Apapun metode yang saya gunakan, jika saya mempunyai sense of competence maka ada perasaan tenang di kelas termasuk untuk menikmati segala respon bahkan atas respon yang unpredictable. Bahkan menjadi fasilitator apapun, minimal terdapat satu guidance atas apa yang kita yakini sehingga hal tersebut dapat membuat kita lebih percaya diri untuk memfasilitasi satu hal. Di sisi lain, saya menyadari bahwa ekspektasi para mahasiswa besar dalam hal ini, dikarenakan sebagian besar mahasiswa mempunyai latar belakang sebagai pendidik.
Waktu mengajar akhirnya tiba dan tetap saya masih tidak memiliki sense of competence atas mata kuliah tersebut. Saya sendiri ragu dapat mengajar atas hal tersebut. Ada keringat dingin keluar, ada kegagapan di kelas. Untuk melakukan healing atas kegugupan saya, saya-pun mengakui dengan jujur atas keterbatasan kompetensi saya atas topik tersebut di kelas. Saya kemudian meminta mahasiswa untuk berdiskusi dan mengerjakan sesuatu agar kita semua dalam kelas dapat belajar bersama-sama atas materi yang seharusnya dipelajari. Saya memberikan feedback atas apa yang mereka kerjakan, mencoba memetakan apa yang mereka pikirkan dan kerjakan. Perjalanan diskusi menyisakan banyak pertanyaan. Saya sendiri juga mengakui bahwa feedback saya hanya terbatas pada common sense.
Saya sering memberikan review bacaan dan penugasan kepada mahasiswa untuk membuat mereka menemukan hal baru atau untuk memahami suatu hal. Namun hal tersebut terjadi ketika saya menyadari bahwa saya memang yakin memahami materinya. Saya tak nyaman memberikan tugas untuk menutupi kelemahan saya. Misal ketika saya mengajar soal teori Psikodinamika dengan tema Psikologi Individual Adler, persepsi saya atas Adler setidaknya kuat bahwa saya memang paham apa-apa yang dipikirkan oleh Adler dalam teorinya, sehingga bila di kelas kemudian terjadi respon-respon yang unpredictable terkait teori Adler, setidaknya saya bisa dengan yakin membuat statement apapun atas hal tersebut. Saya berani membuat statement atas perspektif saya atas hal-hal yang saya setujui dari Adler dan apa yang saya tidak sepakati dari dirinya. Saya juga dapat percaya diri memberikan penugasan kepada mereka untuk merefleksikan pengalaman kesehariannya. Saya berani memberikan relaksasi di dalam kelas untuk mencoba mereka terbawa dalam earliest recollection mereka dan kemudian menggiring mereka perlahan-lahan melalui satu proses diskusi reflektif agar mereka dapat membayangkan menjadi seorang Adler. Sekaligus meminta mereka untuk melakukan positioning atas apa hal-hal yang mereka sepakati dan tidak sepakati dari Adler.
Bahkan untuk mata kuliah yang dalam persepsi saya menguasainya, tetap saja saya mesti mempersiapkan materi minimal sehari sebelumnya untuk refresh dan juga memikirkan dengan cara apa saya ingin menyampaikan.
Namun dalam mata kuliah ini, saya merasa tak mempunyai sense of competence sama sekali. Saya tak bisa memaksa diri saya untuk menjadi sok tahu bila memang pengetahuan saya masih cethek. Saya pun tak bisa memberikan penugasan hanya sekedar untuk menutupi kelemahan saya, saya juga tak bisa memberikan feedback maksimal jika saya memang tak paham betul atas materinya. Saya hanya bisa meminta maaf karena tak bisa memuaskan begitu banyak pertanyaan apalagi sebagian dari mahasiswa tersebut adalah guru. Saya kemudian hanya memberikan feedback yang bersifat common sense dan hanya dapat menceritakan sedikit pengalaman saya.
Saya menyadari bahwa ada empat kesalahan yang saya lakukan. Pertama, saya menerima tawaran mata kuliah ini tanpa mengetahui isinya dahulu. Kedua, saya tak cukup berani untuk bertanya lebih lanjut tentang apa isi mata kuliah tersebut pada anggota tim yang lain pasca pembagian desain. Ketiga, saya tak cukup punya waktu untuk belajar hal-hal baru yang apapun semestinya tetap menjadi kewajiban saya karena menerima berarti komitmen menjalani, terlepas dari saya tak punya passion atas materi tersebut. Keempat, saya terlalu vulgar untuk mengakui ketidakmampuan saya dan hanya melakukan share ide yang murni common sense disaat terdapat ekspektasi bahwa saya semestinya bersikap lebih professional dan mampu memberikan pemahaman lebih apapun caranya. Point keempat mungkin dipersepsikan salah oleh orang lain, namun sejujurnya dan pada akhirnya saya justru melihatnya sebagai hal positif yang berbeda.
Selesai kuliah badan lemas. Ada perasaan inferior dan self-blaming. Saya mencoba melakukan meditasi di rumah untuk healing, namun rasionalitas atas pengalaman nampaknya lebih sering menjudge saya. Saya memang begitu perfeksionis dan terobsesi dengan detail. Hal tersebut tak bisa dipungkiri telah membuat saya mendapatkan capaian seperti sekarang. Saya terobsesi untuk menunjukkan yang terbaik karena tuntutan eksternal. Saya terlampau rentan untuk tertekan ketika mengetahui sisi-sisi lemah saya bermunculan.
Ada hal yang terabaikan dalam diri saya yaitu menerima diri saya apa adanya. Bahwa melihat dan menerima kelemahanpun adalah bagian diri yang harus saya terima. Saya memang harus benar-benar menyadari apa saja hal yang saya tidak ketahui dan apa hal-hal yang saya ketahui. Setidaknya saya telah berusaha jujur dengan diri saya dan orang-orang disekeliling saya.
4 Comments