Articles

Sukhoi dan Media Massa

Akhir-akhir ini headline dan media massa nasional disibukkan dengan kejadian yang menimpa pesawat Sukhoi Superjet 100. Beberapa stasiun televisi bahkan menayangkan Breaking News nonstop selama beberapa hari. Tak ada kecelakaan yang tidak tragis. Tidak ada maut yang tidak mengundang air mata. Kehilangan nyawa dari keluarga korban sebagaimanapun bentuk kematiannya tak akan pernah dapat diganti nilainya dengan uang atau apapun.

Namun dinamika pemberitaan media massa nasional nampaknya juga cukup menarik dicermati. Angle beberapa media massa sering kali terlampau menyudutkan negara asal pesawat. Efeknya kemudian bukan pada negara asal produsen pesawatnya saja, namun bagi sebagian orang awam adalah judge dan stereotype yang berlebihan terhadap orang-orang negeri beruang merah tersebut. Apalagi sejarah yang dibuat oleh penguasa Indonesia di era tertentu mempunyai catatan kelabu dengan negara yang mayoritas didominasi Ras Slavic tersebut. Jadilah kemudian berita semakin buruk dan dramatis. Penelitian yang dilakukan oleh Chip Heath di Universitas Chicago pada tahun 1996 menunjukkan hal yang menarik. Informasi ekstrem akan diserap tergantung pada preferensi yang kongruen terhadap value seseorang terhadap obyek tersebut, sehingga jika value kita terhadap sesuatu sudah terlanjur buruk, maka kita akan cenderung percaya terhadap segala informasi buruk terhadap obyek tersebut. Apapun stereotype sebagian masyarakat kita terhadap Orang Rusia kurang lebih masih sama dengan stigma yang dilekatkan oleh penguasa di jaman orde baru.

Apa yang saya tulis tak terkait dengan nasionalisme dan bisnis pesawat. Saya hanya tertarik untuk mencermati psikologi masyarakat dan kesimpangsiuran berita. Pemberitaan atas apa yang terjadi pada kecelakaan pesawat tersebut bisa dibilang membingungkan dan bertendensi menyudutkan mulai dari : 1) Pemberitaan pilot yang ditemukan bertubuh utuh dan berparasut yang arahnya kemudian adalah dugaan pilot melompat tak bertanggung jawab meninggalkan penumpang, 2) pesawat rusia yang berteknologi jadul karena ELT tak bisa dilacak dan masih menggunakan frekuensi lama, 3) MCS rusia yang bemental tape, merepotkan, dan seenaknya, 4)  sampai soal blackbox yang diusulkan untuk dibuka di Rusia yang heboh diberitakan.

Soal Black Box, tak ada yang pernah tahu apa yang terjadi pada saat tim Rusia menawarkan bantuan untuk membuka Black Box kepada Indonesia. Tawaran ditolak oleh pihak Indonesia. Toh pihak Rusia pun tak memaksa dan menerima,  tapi keesokan harinya media massa Indonesia menjadi ramai dengan headline tersebut. Beberapa judul Koran menuliskan “Indonesia menolak tegas Blackbox dibuka di Rusia”. Judul menunjukkan heroisme. Orang kemudian digiring pada opini dan asumsi bahwa akan ada manipulasi data dari pihak Rusia jika dibawa ke tempat pembuat Sukhoi ini. Orang kemudian lupa Black box pesawat Boeing buatan Amerika ketika terjadi tragedi Adam Air yang jatuh 1 januari 2007 itu juga dibuka di Amerika. Siapa yang tahu jika Rusia bisa saja menawarkan pembukaan Blackbox tersebut sebatas pada loncatan ide atau obrolan di tengah makan malam saja. Disinilah pikiran saya jadi meloncat dengan apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillard. Dia pernah dengan ekstrem mengatakan, “bisa jadi perang Iraq tahun 1991 hanyalah realitas yang dilebih-lebihkan, dia hanya terjadi di satu tempat dan tak terjadi di semua tempat di Iraq, namun media mengambil angle yang seolah-olah hal tersebut adalah perang heroik Amerika yang terjadi di seluruh Iraq”.

Saya jadi teringat lagi berita beberapa tahun yang lalu. Adakah dulu Koran nasional juga berkomentar sama pedasnya soal kecelakaan Airbus A330 Air France pada tahun 2009 atau soal seringnya kecelakaan pada pesawat Boeing 737-200? Tentu tidak, karena magnitude dan kepentingannya tak sampai terasa disini. Saya juga tiba-tiba teringat soal berita tahun 2002 soal meninggalnya pekerja AS di Freeport. Agen-agen amerika sampai melakukan investigasi di Indonesia. Adakah waktu itu TNI dan Koran nasional bersuara lantang layaknya sekarang? Tentu tidak, karena Indonesia secara politis memang tak berdaya dengan negara adidaya tersebut. Ketergantungan Indonesia secara politis terhadap Amerika jauh lebih besar dibandingkan ketergantungan Indonesia terhadap Rusia. Thus ini lebih dari urusan interest dan angle yang dipilih oleh media.

Sthriving for Superiority

Apapun, berita sinisme dan ejekan yang saat ini gencar plus sebagian masyarakat kita yang ikutan sinis adalah dikarenakan sthriving for superiority. Baik Indonesia dan Rusia mempunyai kecenderungan ingin menunjukkan diri sebagai bangsa yang tak kalah dengan bangsa lain. Rusia ingin memperlihatkan bahwa dirinya tak kalah dengan Eropa Barat dan Amerika. Jatuhnya pesawat yang menjadi simbol kebanggaan dan kebangkitan Bangsa Slavic pasca jatuhnya USSR ini otomatis membuat mereka gelagapan, kelimpungan, dan tak ingin kehilangan muka.

Indonesia sendiri juga mengalami hal yang sama. Ini adalah saat Indonesia menunjukkan superioritasnya terhadap dominasi Barat. Kesempatan tersebut hanya ada jika kita sendiri tak punya banyak ketergantungan terhadap bangsa tersebut. Rusia adalah jawaban yang tepat di saat sekarang. Satu sisi, bangsa kita seringkali tak punya posisi tawar dalam berdiplomasi ketika dihadapkan oleh kepentingan barat. Diplomasi luar negeri kita seringkali terlihat inferior. Sebenarnya, seperti kata Adler, sense of inferiority itulah yang kemudian menjadi pendorong bagi kemajuan, namun  dalam konteks dan kadar pengalaman tertentu inferiority justru dapat menyebabkan inferiority complex atau superiority complex.

Bisa jadi hal tersebut terjadi pada bangsa kita. Kita memang patut berbangga dan memberi apresiasi melihat Basarnas mampu untuk menjelajahi Gunung Salak dan kompak dalam menginvestigasi korban. Rusia yang kalang kabut untuk segera menginvestigasi produk yang dianggap kebangkitan industri dirgantaranya dan yang juga warga negaranya ikut menjadi korban, malah justru membuat kita muak dan dianggap sebagai pengganggu. Namun bisa jadi ini bukan soal mereka mengganggu atau tidak. Ini adalah masalah sthriving for superiority yang diperebutkan oleh kedua Negara. Prestasi mengevakuasi korban dengan tangan kita sendiri tentunya akan lebih membanggakan, dibandingkan prestasi yang sudah dicampuri oleh kelompok lain. Menjadi juara satu sendirian, seringkali lebih membanggakan dibandingkan juara satu rame-rame. Padahal ini bukan kompetisi, ini adalah misi evakuasi. Oleh karenanya, Koran nasional begitu heboh menyindir 2 tim SAR Rusia yang kelelahan dan balik kandang ketika akan menjelajah Gunung Salak. Padahal kenyataannya yang pulang bukanlah anggota SAR/MCS Russia, namun adalah wartawan dan seorang ahli investigasi dari fabrikan Sukhoi. Ejekan muncul disana-sini, tak peduli bahwa mereka sebenarnya juga berhak untuk terlibat. Sense of humanity kadang seringkali dilupakan bahkan dalam misi kemanusiaan, justru yang lebih terasa disini adalah tarik-menarik kepentingan untuk urusan harga diri dan menunjukkan siapa yang paling hebat.

 

Good news doesn’t sell newspapers

Lepas dari urusan harga diri, tiba-tiba saya jadi teringat penelitian yang dilakukan oleh The Pew Research Center for the People & the Press di Amerika Serikat tentang pemberitaan Media Massa dari tahun 1985 hingga tahun 2011. Disana ditemukan bahwa 66 persen responden menyadari bahwa berita yang ada dalam media massa di amerika serikat seringkali tidak akurat. 77 persen juga mengatakan berita seringkali berat sebelah.

Konon memang berita buruk lebih laku dijual. Good news doesn’t sell newspapers.  Dan apapun inilah konsekuensi dari kapitalisme dan kebebasan media. Bisnis media mau tidak mau menyebabkan kita menjadi korban eksploitasi tragedi. Benar atau tidaknya informasi bukan jadi yang utama. Yang terpenting adalah profit dari berita bombastis dan rating media yang naik. Lain hal, kita tak pernah tahu media itu berpihak pada kepentingan yang mana. Perilaku pembaca bisa jadi tak salah, karena mereka hanyalah hasil giringan opini dari media massa. Karakteristik masyarakat sedikit banyak media yang kurang lebih ikut berperan.

Masyarakat terlampau banyak dicekoki dengan berita prematur. Akhirnya kemudian lahirlah masyarakat yang penuh prejudiced, gemar mengutuk-ngutuk, dan tak utuh dalam membuat sebuah kesimpulan. Media juga terlalu menghadirkan efek dramatis dan hiperbolik dalam menginformasikan berita. Responden yang jelas-jelas sudah sedih, masih dipaksa lagi untuk bercerita tentang perasaannya. Tragedi yang memang pada hakikatnya pilu masih ditambah lagi ketragisannya dengan efek-efek gambar dan musik montase yang diputar hampir 24 jam. Tangisan yang ditampilkan itu bukan lagi untuk menumbuhkan empati tapi soal eksploitasi. Masyarakat dipaksa tenggelam dalam dunia simulacrum yang dibuat oleh media. Realitas asli kemudian dibuat sedemikian rupa hingga dramatis, dengan tangisan, slow motion dan gambar montase. Benar ini dapat menumbuhkan kesadaran bagi yang melihatnya, tapi dalam kadar tertentu ini justru mengakibatkan rendahnya resiliensi keluarga dalam menghadapi tragika. Mereka yang seharusnya mempunyai daya tahan psikologi yang kuat, bisa jadi jadi justru menjadi lemah dan panik gara-gara efek pemberitaan media yang terlalu berlebihan.

Yang paling ironis kemudian beberapa orang disekitar saya mulai terpancing dan memunculkan sentimen lama yang tak ada hubungannya dengan urusan pesawat. Mereka mengutuk-ngutuk, “dasar komunis ndak tanggung jawab!”, “Dasar Rusia yang seenaknya keras kepala!”. Walau saya paham Sukhoi itu memang satu dari kebanggaan bangsa Slavic, tapi saya sendiri juga tak pernah ada urusan dengan bisnis Sukhoi. Hanya entahlah tiba-tiba saja saya jadi ingat dengan teman-teman Slavic saya yang pernah menolong saya di Rusia. Ingat dosen saya disana yang begitu baik dan suportif sampai-sampai pernah memberikan sekarung kentang buat saya. Tak tega rasanya jika kemudian main hantam kromo begitu saja.

Saya pernah jadi korban pengeroyokan dengan alasan rasisme di Rusia. Saya juga pernah mengalami hidup yang berat di Rusia, tapi itu semua tak membuat saya membenci orang Rusia. Rasisme itu bukan hanya ada disana. Rasisme ada dimana-mana termasuk di Indonesia. Banyak diantara mereka yang jauh dari apa yang dikatakan sebagai setan komunis atau orang yang tidak bertanggung jawab. Ini bukan masalah ras atau ideologi. Lepas dari apapun kebangsaannya mereka adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka bukan setan dan tak semuanya arogan.

Sedikit meloncat, saya juga kemudian jadi berpikir kenapa juga media tak pernah membuat montase yang sama dramatisnya dengan intensitas siaran yang sama sebagaimana pemberitaan sukhoi terkait dengan penderita gizi buruk di Indonesia yang jumlahnya mencapai 4 persen dari 23 juta balita Indonesia atau sekitar 900 ribu anak. Tidak ada asuransi sebesar 50.000 USD buat mereka lho, juga tidak ada asuransi dari pemerintah sebesar 50 juta per kepala.

Sekali lagi tulisan ini tak ada urusan dengan bisnis Sukhoi. Bisnis biarlah diselesaikan pada pihak yang berbisnis. Terakhir semoga hasil investigasi dapat memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya kepada semua pihak.

27 Comments

Leave a Reply to pramoe mirza Cancel

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*