Memoir

Guru Tak Pernah Pergi

@ardinouv you told me often about pak ino the most. Now with these thousands miles I wonder how tough this loss for you. We love him either (message by @andianinda)

Di atas adalah tweet dari ponakanku Ninda 3 jam lalu. Benar. Sepanjang aku di Surabaya sejak kepulanganku agustus 2011 hingga keberangkatanku lagi oktober 2012, aku memang banyak bercerita tentang beliau. Perhatian, perdebatan, dan diskusi tiada akhir dengan beliau begitu sering kuceritakan kepada orang-orang terdekatku. Termasuk juga dengan ibu dan bapakku.

Pagi ini message bertubi-tubi datang dari mahasiswa dan temanku bahwa Pak Ino telah tiada. Tidak percaya. Tapi semua rekan hampir serempak mengabarkan berita itu. Lebih dari 6000 mil aku berada. Lemas. Moodku seharian remuk. Aku yakin perasaan ini tak hanya aku yang merasakan. Semua yang mengenal Pak Ino dekat pasti merasakan dalamnya kehilangan. Baru dua minggu lalu aku bicara dengan beliau via skype. Waktu itu beliau hanya memakai kaos kutang, begitu santai dan banyak tertawa. Dia menanyakan sekolah dan aktivitasku. Aku antusias bercerita seakan bercerita dengan bapakku sendiri. Beliau juga banyak bercerita soal fakultas.

Interaksi dekatku dengan Pak Ino dimulai sejak 2006. Dia banyak merubah hidupku. Semasa kuliah aku nyaris tidak pernah mengambil mata kuliah beliau, artinya aku hampir tak pernah berinteraksi. Bukik dan Samian adalah orang yang banyak memperkenalkan diri dan minatku kepadanya. Singkat cerita, akhirnya kami banyak nyambung, apalagi kalau bicara soal filsafat. Kadang agak sulit bagiku untuk mengikuti jalan pikiran Pak Ino yang liar dan meloncat-loncat. Amunisi pengetahuannya terlampau banyak. Banyak hal baru yang aku dapatkan dari beliau. Misal, pertengahan tahun 2012, Pak Ino beberapa kali antusias bicara soal beberapa ilmuwan rusia yang tergabung di Rossiskiy Akademik Nauk (RAN) yang bisa menghitung secara matematik sampai seberapa lama informasi bisa bertahan dalam memori seseorang di era massifnya informasi seperti sekarang. Obrolan yang khas Pak Ino karena selalu ada bumbu chaos, fisika kuantum, dan psikologi non-mainstream.

Pak Ino adalah salah satu orang yang selalu mendorongku untuk belajar di luar negeri. Seputar tahun 2006-2008, berkali-kali dia bilang, “kamu mesti sekolah di luar. Biar tahu orang bule itu sama aja kayak kita. Biar ga minder. Soal etos kadang kita lebih. Lain itu biar punya wawasan yang berbeda. Biar tahu budaya belajar yang berbeda.”  Pak Ino awalnya ingin sekali aku mengambil jurusan sejarah dan mengkaji soal collective unconsciousness masyarakat jawa. Aku sempat mendaftar di Leiden University, Netherland tahun 2007 untuk sekolah di Javanologi, tapi offered conditional letter tak kutindaklanjuti, karena beberapa alasan. Beliau beberapa kali agak menyayangkan.

Pak Ino adalah ensiklopedia berjalan. Isi hard disk komputernya seperti perpustakaan. Bisa kuminta sesuka hati. Tak terhitung siapa saja yang sudah dibagi . Bukik, Samian, Ucok, Aryo, Mbak Wiwin adalah penikmat isi hard disk Pak Ino. Aku yang mengajar psikologi kepribadian dan tertarik dengan Transpersonal Psychology, sering kecipratan, yang paling kuingat adalah Audio Book Carl Gustav Jung -man and symbol- dan Ken Wilber – the history of everything-.

Pertengahan tahun 2008, aku diterima beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Rusia. Semua orang mengernyitkan dahi. Tujuan kebanyakan orang Indonesia bersekolah adalah di Australia, Amerika, dan Eropa Barat. Eropa Timur –terutama di Rusia- distereotipekan komunis dan sarang mafia. Yang ingin berangkat kesana dianggap anomali. Beberapa kolega sempat mengernyitkan dahi ketika tahu tujuan sekolahku. Pak Ino? Tidak sama sekali. Dia mendukung penuh. Dia mengatakan pada banyak orang bahwa Psikologi butuh diversifikasi ilmu pengetahuan dari banyak sumber, jangan semua ke Australia atau ke Amerika, kalau bisa pun harus ada yang ke India ataupun ke afrika selatan. Bahkan kabarnya dia sempat berbincang-bincang dengan pimpinan secara informal, bahwa beliau mendukung penuh Sekolahku. Aku sendiri padahal sempat ragu berangkat, gara-gara nilai beasiswa yang minim dan kerasnya medan Rusia. Lagi-lagi aku diyakinkan Pak Ino (dan juga Mbak Ira) untuk berangkat. Dan benar. Terlepas dari hidupku di Rusia yang setelah berangkat ternyata agak pahit, setengah sulit dan super irit, aku merasa dibesarkan secara mental. Aku lulus dengan selamat. Bisa jadi tanpa penguatan hati dan dukungan penuh beliau ketika itu, mungkin aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di Rusia. Dan karena aku telah menginjakkan kaki di tanah ini, sekarang aku menikmati buahnya. Aku dipercaya untuk mengajar di Rusia. Dan Pak Ino, aku dedikasikan pencapaian yang kudapatkan disini kepadamu.

Pak Ino tak hanya dikenal dari obrolan yang berat. Aku banyak bercerita tentang diriku dari yang sulit hingga ecek-ecek. Mulai dari soal spiritualitasku, kebiasaanku sampai candaan yang tidak penting. Dari obrolan filsafat, politik, sampai urusan makanan. Bayangan yang paling jelas muncul di kepalaku sekarang adalah kepalanya yang melongok di ruang UP3 gedung lama ataupun di ruanganku di gedung baru. Lalu biasanya Pak Ino mulai memanggil, “Di kopi iki karek njupuk wae. Iki ono kopi jahe, kopi nescafe. Iki enak iki”, “Di… wis mangan?”, “Di… Tahu isi iki lho?”, “Di ayo rokokan sek!”, “Di arek-arek nyantrik ta?”. Atau tiba-tiba dering telponku berbunyi di jam sibuk, “Di mampir neng kelasku di. Arek-arek nggowo gethuk iki. Ayo ndaang!”

Pak Ino punya perhatian besar dengan dosen muda di Psikologi. Aku ingat pagi-pagi hari kamis entah bulan apa -pastinya tahun ini- tiba-tiba telponku berdering, Pak Ino setengah bergetar bilang, “Di, Bukik mengundurkan diri. Coba kau bicara dengan Bukik. Cuma Samian, kamu, dan Ayok yang mungkin dia mau sedikit mendengarkan. Kita kehilangan besar kalau itu benar.” Atau ucapan yang pernah kudengarkan di meja seberang kepada mbak Ira dan Ucok, “Ayo tak ajari statistik, mumpung aku belum mati.”

Perhatian beliau bukan saja soal keilmuan bahkan soal logistik, “Di ayo mangan di, ajaken Dewi, Sam, Ayok, karo Ucok”.  Aku bisa membayangkan bagaimana mbak Dewi Syarifah yang mungkin hari ini sudah menangis tanpa henti dan matanya bengkak, karena aku tahu begitu sayangnya Pak Ino terhadap dia (dan pasti juga sebaliknya). Ini ibarat bapak ke anak. Mbak Wiwin yang ruangannya ada disebelahku juga selalu diperhatikan soal urusan logistik Pak Ino. Begitu sering pak Ino juga melongok-longok di ruangan mbak Wiwin dan juga melempar-lempar pertanyaan liar.

Aku ingat ketika disuruh mampir ke Trawas tahun ini. Aku yang cuma mampir, dibayari pijat gara-gara badanku yang kecapean.Masih membekas bagaimana kenangan perjalanan terakhirku dengan Pak Ino di Medan ketika pernikahan Ucok. Pagi hari di hotel di danau toba, badanku dibalik paksa oleh Pak Ino karena sulit bangun gara-gara efek obat tidur. Disana juga beliau memberiku obat tambahan untuk ‘sangu’ diriku yang akan sekolah lagi. Pak Ino tahu problem susah tidurku. Ingat juga ketika Pak Ino yang tiba-tiba nyelonong waktu aku diduet foto dengan mbak Ira untuk pakai baju adat melayu di istana Maimoon.

Pak Ino adalah orang yang bisa mengesankan orang di pertemuan pertama. Bulan April 2012, aku memperkenalkan Pak Ino dengan kawan Rusiaku yang kebetulan datang ke Indonesia. Kesan pertama temanku bilang, “Ini pertama kali aku berjabat tangan dengan orang indonesia, dengan jabatan yang kuat dan erat”. Malamnya kawanku bilang, apakah memungkinkan untuk bicara lagi dengan Pak Ino. Aku tanya lagi apa yang membuat ia tertarik bertemu Pak Ino. Temanku bilang, “Cara dia berbicara dan berjabat tangan berbeda. Orang-orang Indonesia yang kukenal rata-rata berjabat tangan dengan tangan yang lemah, dia tipe orang yang percaya dengan dirinya. Entah kenapa aku ingin banyak bicara dengan dia.” Juli 2012 aku memperkenalkan Om-ku dengan Pak Ino yang jadi praktisi OD dan Wasekjen Apindo. Dan terlihat om-ku terkesan dengan Pak Ino.

Pak Ino adalah orang yang setia dan berdedikasi. Bulan februari 2012, ia pernah bercerita, “Di, dulu aku pernah mengalami masa yang berat di fakultas. Dosen-dosen keluar dari fakultas. Aku ditekan, tapi aku bertahan disini, walaupun berat. Aku ga pergi dari sini. Kamu harus tahu tiap detail sejarah di fakultas kita, termasuk konflik yang dulu-dulu. Sekarang masa itu udah lewat, tapi arahnya mesti diperjelas. Kalian yang muda yang mestinya bikin jelas.”

Pak Ino pernah mengeluh karena banyak mahasiswa psikologi yang cuma sekolah sekedarnya dan tidak paham body of knowledge psikologi. Beliau seringkali frontal mengkritik sistem pendidikan kita yang mekanis dan birokratis. Yang paling masuk di kepalaku adalah pesannya, “Di… kamu simpan uang baik-baik. Cari duit. Bukan buat kamu. Buat anakmu nanti. Kamu rela anakmu dididik sama-sama orang-orang yang ga punya dedikasi dan integritas kayak begitu!”

Pak Ino adalah inspirator dan profesor tanpa gelar. Ia tidak peduli dengan kenaikan pangkat. Untuk seusianya Pak Ino punya golongan pangkat dan jabatan yang tidak tinggi. Beliau tidak pernah pusing dan justru malas mengurus tetek bengek administrasi kenaikan pangkat. Tapi dimata semua pengajar disini, dialah THE REAL PROFESSOR. Beliau ibarat ensiklopedi berjalan. Pengetahuannya soal isu indigenous jawa, filsafat, sejarah, dan psikologi tak perlu diragukan. Dia adalah orang pertama yang mendorong dan jadi inspirasiku untuk belajar sejarah.

Terakhir aku bertemu dengan Pak Ino di Indonesia, ia memberikan aku buku. Satu buku tipis tentang filosofi  dan satu buku tua bersampul coklat pudar dari Cornell University, soal budaya jawa. Dia berpesan agar aku selalu kembali pada akarnya. Buku itu belum kubaca dan kutinggal di Poland.

Dua bulan sebelumnya ada kata-kata dari Pak Ino yang terngiang-ngiang dikepalaku, “Di aku banyak punya buku bagus, Kamu ambil apa yang kamu suka. Engkok nek aku mati, wis gak ono sing moco meneh soale.”

Pak Ino… Aku bangga pernah dekat denganmu. Aku bangga pernah jadi anak didikmu. Selamat jalan The Great Inspirator! Jasadmu akan segera dikremasi seperti apa yang pernah kamu katakan kepada kami. Hari ini kamu telah pergi, tapi sesungguhnya guru tak pernah pergi, karena guru itu selalu ada tempatnya di hati kami. Vi vsegda s nami – vnutri nas. Vi vsegda zhivoi!  I miss you more than these words could ever say.

 

 

 

 

 

5 Comments

  1. Pingback: RIP Ino Yuwono: Ketika guru lain pergi, guru ini tetap bersama muridnya | Bukik Ideas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*