Saya adalah penerima beasiswa dari Pemerintah Federasi Rusia tahun 2008 s/d 2011. Pada tahun 2012, saya juga didapuk menjadi Visiting Lecturer di Institut of Political and Social Science, Ural Federal University, Rusia.
Pasca lulus tahun 2011, beberapa rekan menyatakan ketertarikannya untuk melanjutkan studi disana. Tak ada niat untuk melunturkan semangat, tapi beberapa kali saya memang mengatakan, “Yakin? Siap?” Medan Rusia bisa dibilang tak mudah. Tantangan hidup di Rusia bisa dibilang tidak biasa, dibandingkan negara-negara penyedia beasiswa tetangganya, ataupun negara-negara eropa yang lain. Bahasa, kultur, iklim, mentalitas, kondisi asrama yang sederhana, dan sistem pendidikan yang berbeda dengan yang lain bisa jadi membuat beberapa penerima beasiswa shock berat ketika berangkat dengan ekspektasi yang berlebihan tanpa mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya. Beberapa kasus balik kanan sebelum “perang usai” terjadi di sana.
Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan agar pembaca yang memang berniat untuk melanjutkan sekolah di sana dapat mempertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan. Tentunya agar cerita saya juga tidak berulang-ulang saya sampaikan secara lisan, sehingga jika ada yang akan bertanya lagi saya tinggal mereferensikan blog saya.
Masalah baik dan buruk adalah relatif, persepsional, dan selalu dapat diperdebatkan. Namun pengalaman pahit dan berat-pun bisa menjadi sangat nostalgik ketika telah lulus dijalani. Jebolan Rusia pun mempunyai kredo yang selalu dibangga-banggakan, “setelah lulus dari Rusia, hidup dimana saja bisa!”. Seorang teman, Fittonia, yang sekarang juga melanjutkan studi S3-nya di Inggris, mengakui bahwa kehidupan di Rusia membuat ia merasa bahwa masalah adaptasi di tempat baru hanya jadi masalah kecil.
Pengalaman saya itupun juga ikut memperkuat mental saya, sehingga selama saya hidup di Warszawa, saya tidak mempunyai hambatan yang berarti. Beberapa kali di Warszawa saya harus pergi ke kantor pemerintahan mulai dari kantor kependudukan, imigrasi, ataupun public insurance untuk mengurus resident permit. Sungguh-pun di kantor pemerintahan tersebut mereka hanya mampu berbicara bahasa Polandia, tapi saya mampu mengatasinya walau saya pergi tanpa diantar siapapun. Saya yang pernah tersasar di jalanan warszawa saat 3 hari pasca kedatangan, juga masih bisa tenang walaupun saya tak bisa berbahasa lokal. Kebanyakan jebolan Rusia akan mengakui bahwa salah satu karakteristik khas yang terbangun dari studi di Rusia adalah mental independen, mandiri, dan “bonek” alias Bondo Nekad.
Selanjutnya, agar sifatnya tak seperti petunjuk instan dan buku “how to”, maka beberapa cerita akan bercampur dengan pengalaman fenomenologis yang saya alami. Pengalaman fenomenologis berikut konteksnya, biasanya dapat lebih dibayangkan situasinya dibandingkan dengan tulisan yang melulu berbau tips dan trik. Dibagian bawah, ada cerita tentang bagaimana saya mengatasinya, dan bagaimana kesan itu masih bisa saya rasakan sampai hari ini. Agar satu halaman blog saya tidak terlalu panjang, maka pada tulisan pertama ini saya hanya akan memfokuskan pada satu hal dulu yaitu bahasa. Tulisan berikutnya terkait budaya, iklim, kehidupan kampus dan asrama, perkuliahan, dan lainnya. Tentunya satu aspek dan aspek lainnya bisa jadi bertumpang tindih diceritakan.
Seberapa Rumit Bahasa Rusia?
Bahasa saya letakkan pada urutan pertama karena merupakan kunci keberhasilan studi anda disana. Anda lulus dengan membawa ilmu, sekedar membawa ijasah, ataupun balik kanan karena DO, tergantung dari seberapa adekuat anda menguasai “inti” bahasa Rusia. Kenapa inti saya beri tanda kutip, karena ada mitos yang berkembang dikalangan orang asing yang tak bertutur dengan bahasa ibu Rusia yang mengatakan sedikit mustahil bagi kita untuk bisa berbicara bahasa Rusia sebagaimana penutur asli. Di banyak sumber yang saya baca, bahasa Rusia yang berakar dari bahasa slavic ini termasuk salah satu bahasa tersulit di dunia.
Apakah problem memahami bacaan Rusia hanya menjadi problem saya? Ternyata tidak. Maxim, Anton, Boris, dan orang Rusia lain juga punya masalah yang sama. Tak hanya sastra Rusia, bahkan bacaan akademik Rusia pun diakui berat oleh penutur asli. Suatu saat, kamar saya kedatangan tamu bernama Lilia yang mengambil kuliah di jurusan matematika. Dia melihat buku yang berjudul Psihika i Deyatelnost di rak saya. Dia buka isinya dan dibaca 1 lembar. Sontak dia mengatakan, ‘hhfff ini buku apa? susaaah… kamu ngerti di?’ . Cerita lain, saya juga punya teman dekat bernama Irina. Mengetahui bahwa saya sedang mencetak e-book Smisel i Rec oleh Vygotsky, dia langsung geleng-geleng dan bilang, “saya tidak bisa membayangkan orang asing akan membaca buku akademik Rusia, bahkan bagi kami sendiri itu sulit” Dan sampai hari ini memang bukan hal yang mudah bagi saya untuk membaca literatur Rusia.
Sekilas saja, Bahasa Rusia merupakan bahasa tutur keempat yang paling banyak digunakan di dunia setelah bahasa Inggris, Cina, dan Spanyol. Lebih dari 300 juta orang di dunia berbicara dengan bahasa Rusia. Ia juga merupakan satu dari 6 bahasa resmi di PBB. Penutur tak hanya sekedar di Rusia ataupun di semua negara ex pecahan Uni Soviet atau negara-negara di Kaukasus tetapi juga pada beberapa penutur tua di Eropa Timur. Hanya jangan berharap jika anda berkunjung ke Polandia mereka mau berbicara dengan bahasa Rusia. Sentimen sejarah dan politik menyebabkan mereka sedikit “alergi” menggunakan bahasa Rusia. Dan lagi, walaupun bahasa Polandia juga berakar dari bahasa Slavic dan mempunyai logika gramatika yang sama dengan bahasa Rusia, namun mungkin hanya sekitar 20 persen dari kosakata Polandia yang mirip, selebihnya berbeda.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa Rusia sulit karena huruf cyrillicnya. Ini saya sebut mitos, karena mempelajarinya sesungguhnya tak sulit. Huruf cyrillic itu kurang lebih sama saja dengan alphabet yang kita pelajari, hanya berbeda simbol. Huruf cyrillic itu bukanlah hieroglif seperti cina, korea, ataupun kanji jepang. Ia hanya alfabet yang berbeda simbol dengan penambahan beberapa vokal dan konsonan baru. Sungguh tak lebih dari dua hari jika memang anda berniat untuk menghafalnya.
Bagian terberat dalam mempelajari bahasa Rusia bukanlah pada aksara cyrillicnya, namun pada logika bahasa yang berbeda dan kekayaan kosakatanya. Aturan kata kerja yang selalu menggunakan deklinasi tergantung pada subyeknya, dan juga aturan gender pada kata bendanya, membuat bahasa ini menjadi begitu kompleks dan tidak mudah dipahami.
Kata “pergi” dalam bahasa Rusia bisa mempunyai 4 kosakata yang berbeda, dimana setiap kosakata menunjukkan perbedaan yang sangat jelas apakah anda pergi jalan kaki satu arah, pergi jalan kaki tapi pasti kembali ke tempat semula, atau pergi naik kendaraan satu arah, atau pergi naik kendaraan tapi pasti kembali ke tempat semula. Itu belum lagi ditambah dengan aturan grammar past tense, present tense, future tense, dan juga belum lagi ditambah dengan logika perfektif atau imperfektif, dan juga ditambah lagi dengan deklinasi tergantung subjeknya. Jadi hanya satu kata “pergi” anda harus memikirkan pilihan kata yang tepat, plus memikirkan apakah itu perfektif atau imperfektif, plus memikirkan apakah itu dilakukan pada waktu lampau, sekarang, atau masa depan, dan juga memikirkan deklinasi subyeknya. Kalimat “Saya pergi” dalam bahasa Indonesia, maka dalam bahasa rusia bisa diucapkan dengan variasi sebagai berikut = 4 pilihan kata x 2 (perfektif atau imperfektif) x 6 (deklinasi) x 3 (past, present, future) = ??? (hitung sendiri berapa variasi ya) . Gampangannya jika seseorang mengatakan pergi dengan menggunakan bahasa Rusia, maka akan terlihat jelas apakah orang itu akan kembali lagi atau malah “minggat”. Hehehe….
Teman Rusia saya yang kebetulan mendalami sastra Rusia sempat mengatakan, bahwa bagian terpenting untuk mempelajari bahasa Rusia adalah merasakan spirit bahasanya dan bukan sekedar menghafal tata bahasanya. Biasanya mereka akan berkata seperti ini, “Russkiy izzik eto dusebniy, a ne kak drugoy izzik”. Artinya Bahasa Rusia itu dari hati, dan tidak seperti bahasa lain. Dusebniy sendiri artinya dari hati dan ikhlas. Kalimat ini bahkan sama persis diucapkan orang Kaukasus yang kesasar dan bertanya arah jalan ketika saya di stasiun metro Centrum di Warszawa 1 bulan lalu. Mendengar seseorang yang bertanya arah jalan kepada saya dengan bahasa Inggris dialek Rusia, saya segera saja menjawabnya, “russkiy govorite?” (Bisa bahasa Rusia?). Ia terkejut dan tersenyum lebar, dan langsung mengatakan, “Niciwo sebye!!! Ya udivilsha kak Vi mozete govorit po-russkiy! Ya uveren,sto inostranets kotoriy mozet govorit po-russki,sto izucaet tot iz dushi. Russkiy izzik eto dusebniy, a ne kak drugoy izzik”(Wow!!! Saya terkejut anda bisa berbicara bahasa Rusia! Saya percaya, orang asing yang bisa berbicara bahasa Rusia, pasti belajarnya dari hati. Bahasa Rusia itu dari hati, dan tidak seperti bahasa lain Saya yang sebenarnya tidak sempurna dalam berbahasa Rusia agak sedikit ge-er.
Tapi wajar juga bila mereka mengklaim seperti itu. Banyak sekali roman-roman klasik Rusia yang mendunia seperti Dostoevskiy, Anton Chekov, Nikolai Gogol, dan Lev Tolstoy. Karya mereka dikenal sangat eksistensialis dan kaya dalam menggambarkan realitas hidup dan juga realitas psikis. Karya-karya mereka diklaim akan memiliki nilai rasa yang berbeda jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Ada beberapa kata yang seakan tak terwakili hanya jika dibaca dengan bahasa lain.
Soal terjemahan yang berbeda nilai rasa itu adalah kata teman saya. Kenapa kata teman saya? Karena jika-pun anda bisa berkomunikasi dengan bahasa Rusia, belum tentu anda bisa membaca bacaan sastra Rusia (berlaku bagi saya juga). Sampai hari ini butuh perjuangan keras dari saya sendiri untuk bisa memahami sastra klasik Rusia. Buku Alexandr Grid, Alie Parusa adalah buku terlama yang saya baca -Itupun tak sampai habis, sampai kemudian saya memutuskan untuk lihat drama musikalnya saja biar bisa menebak isi bukunya-, sungguhpun halamannya tak lebih tebal dari Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Saya yang telah membaca Crime and Punishment, Dostoevsky, dalam versi Inggris, justru berkali-kali buka kamus ketika saya membaca versi Rusianya dan lagi-lagi kelelahan tak sampai selesai.
Jika anda tidak pernah belajar bahasa Rusia sebelumnya, dan kemudian anda hanya mengharapkan kelas persiapan bahasa (podfak) setahun untuk bisa benar-benar siap menghadapi situasi akademik di Rusia, maka anda hanya percaya dengan mitos. Podfak setahun tidak banyak mengajarkan bahasa akademik, kecuali jika anda di Indonesia sudah pernah mempelajarinya sampai pada level pre-intermediate, sehingga ketika anda datang ke Rusia anda tinggal melanjutkan pada level intermediate atau advance, dan ini sangat amat jarang sekali. Rata-rata mereka yang pernah belajar bahasa Rusia di Indonesia yang kemudian datang kesana, hanyalah sampai pada level beginner, tentunya ada beberapa perkecualian dari mereka yang memang dosen sastra Rusia di UI dan Unpad. 🙂
Bahasa Inggris tak mempunyai ikatan sejarah yang kuat di Rusia. Bahasa Perancis lebih mempunyai ikatan dalam sejarah Rusia. Di abad 19, bahasa Perancis menunjukkan kelas sosial atas bagi orang-orang berpendidikan dan golongan kelas menengah atas di Rusia. Sejarah juga menunjukkan, Perancis merupakan sekutu dekat Rusia bahkan mungkin sampai saat ini, sungguhpun Napoleon pernah mencoba untuk menduduki Moskow dan kalah. Vladimir Putin sendiri pernah mendapatkan penghargaan negara dari Jacques Chirac hanya karena, menurut pengamat, sentimen kedekatan sejarah dua negara.
Jika anda terlalu banyak bergaul dengan orang-orang Indonesia selama di Rusia, siap-siap juga bahwa kemampuan bahasa anda tidak akan banyak berkembang. Saya cukup beruntung, walaupun awalnya saya anggap sebagai malapetaka, karena kedatangan saya di Rusia adalah tanpa orang indonesia sama sekali di kota tujuan. Kota tempat studi saya jauhnya 26 jam dari Moskow, tepatnya Ekaterinburg, Ural region. Saya naik kereta sendiri selama 26 jam dari Moskow – Ekaterinburg hanya dengan berbekal roti yang ternyata sudah basi dan juga 500 ml air. Itupun setelah insiden percobaan penipuan di bandara 4 hari sebelumnya yang mengakibatkan saya terdampar di “bunker” KBRI. Dalam perjalanan kereta dari Moskow – Ekaterinburg, tidak ada satupun yang bisa saya ajak berbicara, karena tak satupun dari mereka yang bisa berbahasa Inggris. Bahkan ketika itu jari saya pernah menunjuk “alat vital” saya (tentunya masih memakai celana lengkap), hanya karena saya tak tahan untuk buang air kecil ketika toilet kereta dikunci. Saya pernah mengalami bagaimana harus berbicara dengan bahasa tubuh ketika saya meminta plastik di supermarket.
Banyak orang Indonesia yang pada waktu pendaftaran ingin sekali ditempatkan di Moskow atau St. Petersburg, namun sebenarnya jika anda ditempatkan di universitas lain di Siberia, itupun juga bukan berarti bencana. Moskow dan St. Petersburg adalah kota dengan komunitas Indonesia terbanyak di Rusia. Kelebihan ditempatkan di 2 kota tersebut anda akan selalu bisa berhubungan dengan kompatriot anda. Kelemahan di tempatkan di dua kota besar tersebut adalah besar probabilitas kemampuan bahasa anda lambat berkembang. Kenapa? Karena dalam keadaan yang masih beradaptasi dan jauh dari rumah, biasanya mekanisme coping stress kita akan cenderung mencari orang sefrekuensi yang dapat memahami apa yang dialaminya. Orang yang sefrekuensi di masa awal adaptasi biasanya adalah yang sekampung. Nah jika galau sedikit anda berkumpul dengan *lagi-lagi* orang Indonesia maka bagaimana anda bisa cepat berbahasa Rusia.
Namun generalisasi juga tak bisa diambil semena-mena, seorang teman yang bernama Kurnia Suryani, bahasa Rusianya begitu bagus kalau boleh dibilang nyaris excellent, walaupun ia tinggal di Moskow. Saya harus mengakui kemampuan komunikasinya bahkan di atas saya. Tapi toh sungguh berada di kota lain juga bukan berarti bencana (walau anda tetap harus sangat selektif memperhatikan reputasi program studi di universitas). Felix Santo, teman saya yang sekarang sedang menempuh studi S3 pertambangan di Tomsk Politeknik, Siberia adalah salah satu rekan yang prestasinya bintang lima. Tesis S2nya bahkan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Rusia.
Bayangan bahwa Podfak akan diajarkan dalam bahasa Inggris? Sekali lagi Itu adalah mitos. Podfak hanya akan diajarkan dalam bahasa Rusia, sungguhpun dosen Podfak anda mahir berbahasa Inggris, jangan harap mereka akan berbicara bahasa Inggris di kelas. Kalau toh suatu saat yang anda hadapi adalah dosen yang menjelaskan sesuatu dalam bahasa Inggris di kelas,ya anggap saja sebagai bonus bintang super mario bross. Tapi jangan berharap daripada sakit hati *hiks*.
Juga jangan berharap semua petugas di kantor hubungan internasional berbicara bahasa Inggris. Bila toh ada yang lancar-car-car (pakai echo ya bacanya), biasanya itu bukan bagian yang mengurusi mahasiswa asing seperti kita, tapi bagian yang mengurusi kerjasama internasional. Dan anda tak masuk urusannya. Mahasiswa asing yang datang ke Rusia Fadlhu Ain hukumnya berbicara bahasa Rusia bukan bahasa lainnya. Ini bahkan berlaku jika anda berniat sekolah full-time ke Universitas nomor wahid sekelas MGU.
Saya masih ingat ketika hari pertama datang ke kampus dengan diantar teman seasrama yang baru saya kenal semalam sebelumnya. Namanya Sewook. Sewook ternyata ditugasi oleh dekan Podfak untuk mendampingi saya. Kedatangan saya ketika itu adalah untuk menjalani tes penempatan kelas bahasa. Saya bilang, Good morning dan senyum. *eng*ing*eng*. Jangankan dibalas dengan good morning, dibalas senyum pun tidak. Setelahnya, saat itu mungkin saya ditanya oleh tester, “Kak dela? Kak Vaz Zovut? Vi uze dolgo uzicuetesh russkiy izzik?” Apa kabar? Siapa nama Anda? Apakah anda sudah lama berlajar bahasa Rusia?
Dan yang saya lakukan ketika itulah adalah nyengir dan menerawang jauh sambil melihat mata si penanya. Saya agak sedikit lelet terlambat merespon pertanyaannya dan justru bilang, “ummm….” sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresi saya mungkin mirip si Raditya Dika di opera sabun Malam Minggu Miko. Pengajar yang bertugas untuk menanyai saya kemudian menyerah *angkat tangan* dengan meminta teman saya yang berkebangsaan Korea untuk menterjemahkan apa yang dia katakan dengan bahasa Inggris. Sesungguhnya saya pun tak cukup mengerti dengan apa yang dikatakan teman saya, karena bahasa Inggris teman saya pun ala kadarnya. Tapi sungguh, di Rusia, di saat-saat genting, jika anda bertemu dengan orang Rusia atau siapapun yang bisa berbahasa Inggris level ala kadarnya, itu sama artinya dengan menemukan emas.
Tapi jangan khawatir, generasi muda Rusia sendiri sebenarnya sangat bersemangat belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris kini menjadi tren di abad 21 bagi masyarakat Rusia. Berbeda dengan di abad 19, dimana bahasa Perancis merupakan bahasa elitis yang digunakan orang-orang dari kelas atas dan berpendidikan tinggi di Rusia. Saat ini, mereka senang jika mempunyai sparing partner dalam bahasa Inggris. Satu hal yang saya salut dari karakter mereka yang ngotot ketika belajar bahasa dan tak peduli grammar salah atau benar. Berbicara dengan mereka kadang membuat bahasa Inggris anda yang pas-pasan bisa kelihatan seolah-olah advance dimata mereka. Ini juga kelemahan beberapa orang Indonesia yang sering minder dan takut dalam belajar bahasa. Kebanyakan dari kita beraninya hanya bicara dengan orang yang level bahasanya di bawahnya.
Nah dari sini, ujung-ujungnya andalah yang dimanfaatkan untuk melatih bahasa Inggris mereka dan bukan sebaliknya. Satu yang harus diingat, anda kuliah dengan bahasa pengantar Rusia dan bukan Bahasa Inggris.
Terbatas bahasa? Jangan nawar!
Kembali lagi ke cerita perkuliahan dalam bahasa Rusia, Saya masih ingat, pada suatu saat, ketika dekan podfak menelpon Dekan Fakultas Psikologi, Galina Glotova, 28 agustus 2009. Intinya pada saat itu, dekan podfak ingin memberitahukan bahwa saya telah lulus kelas persiapan bahasa, berikut secara implisit berarti serah terima atas keberadaan saya, yang sebelumnya berada dalam tanggung jawab podfak menjadi berada dalam tanggung jawab Fakultas Psikologi. Apa reaksi dekan Fakultas Psikologi pada saat itu? Dia langsung menanyakan, “ON GOVORIT PO-RUSSKIY?” (Apa saya berbicara bahasa Rusia?) Dekan podfak tentunya langsung menjawab “Da, Konyechno on govorit. I skoro on priedu k Vam!” (Ya, dia ngomong kok, dan sebentar lagi dia akan menemui anda).
Keraguan ini tentunya bukan tanpa alasan. 6 bulan sebelumnya saya sempat menemuinya dengan didampingi teman Rusia yang bernama Maxim untuk meminta tanda tangan dokumen beasiswa. Setelah saya menjelaskan maksud kedatangan saya dengan bantuan translasi Maxim, pandangan mata sang Dekan seperti menelanjangi mata saya. Sambil menggelengkan kepala, kurang lebih Galina Glotova berkata begini “Serius! Demi Apa! Beneran!!! ini anak mau kuliah di Fakultas Psikologi? Bagaimana anak ini mau ikut ke perkuliahan dalam bahasa Rusia?” *sorry lebay aslinya ga pakai “serius demi apa beneran” sih ya*
Dan 28 Agustus 2009 saya harus menemuinya lagi. Paska ditelpon dekan Podfak, saya segera menemui Galina Glotova (Dekan Psikologi). Saya pergi dengan ditemani Gerhard (mahasiswa Indonesia juga). Awalnya jantung saya terasa mau copot *untung mulut tidak ikut komat kamit*. Saya ingat pandangan matanya yang begitu menyiratkan pandangan unexpected 6 bulan lalu. Di ruangannya, dia langsung mengajak saya berbicara tentang minat spesifik saya dalam psikologi, interest riset, dan apa saja yang saya pelajari ketika S1. Saya dengan bahasa Rusia yang sangat jauh dari sempurna mencoba menjelaskan semuanya. Dia tersenyum. Satu hal yang membuat saya kemudian sedikit lega dan kuat adalah senyumnya yang merekah ditambah kata-katanya, “Ti seycas govorish po-russkiy. Kak bistro! Nu Dobro pozolovat! Ya pozvonu kafedre pedagogiceskoi psihologii” (Kamu sekarang sudah bisa ngomong Rusia. Cepat sekali! Selamat datang! Saya segera menelpon kafedra psikologi pendidikan) *note: awalnya waktu itu saya masuk kafedra psikologi pendidikan sebelum kembali ke khittahnya psikologi sosial*. Tapi apa itu sudah cukup? Apa saya sudah siap untuk menjalani perkuliahan dengan bahasa Rusia yang sesungguhnya?
Hari pertama masuk fakultas adalah hari yang tidak bisa saya lupakan. 31 Agustus 2009. Kenapa saya tidak bisa melupakan? Di akhir kelas saya sempat ditanya oleh dosen pengajar, Vera Makerova, yang ternyata juga adalah kurator saya. “Ardi… kamu mengerti perkuliahan tadi?” Saya jawab, “Tidak semua”. Ditanya lagi, “Berapa persen yang kamu pahami? Ada 50 persen?” Saya jawab ragu-ragu, “ehm tidak banyak”. Ditanya lagi, “20 persen?” Saya iyakan saja. Jujur saja yang ada di kepala saya adalah NOL. Saya hanya mampu menangkap potongan potongan kata dan frase, namun bukan kalimat yang utuh. Dosen berbicara cepat. Mahasiswa berdebat juga dengan tempo yang cepat. Bila diilustrasikan di komik manga, gambar saya pasti sudah menganga dengan mulut lebar *udahlebarpadahal* ditambah dengan air mata yang mengucur seperti air terjun. Cerita dari rekan-rekan indonesia lain, ternyata ada beberapa dari mereka yang bahkan sampai menangis di hari pertama masuk fakultas yang sebenarnya, karena tak sepatah katapun dari proses perkuliahan yang bisa dipahami. Jujur saya membutuhkan setidaknya kurang lebih 2 semester di Fakultas Psikologi untuk kemudian terbiasa dengan perkuliahan dalam bahasa Rusia.
Menjadi orang asia minoritas di kelas dengan kemampuan bahasa yang tidak adekuat membuat saya sangat amat tertekan. Di satu sisi saya tidak mau diremehkan. Sepertinya ada kata hati saya yang berkata: Saya memang pendek. Kulit saya memang lebih gelap. Saya memang tidak ngerti apapun. Tapi saya tidak mau jadi pupuk bawang!
Di kelas, saya nyaris tidak pernah berbicara apa-apa, tapi saya tetap harus menunjukkan sesuatu. Saya habis-habisan mengerjakan tugas. Saya kurus *sampai dosen saya pernah memberikan sekarung kentang* Saya habis-habisan mempersiapkan diri untuk presentasi jika memang penugasan mewajibkan presentasi.
Presentasi saya yang pertama adalah pada akhir Oktober 2009. Saya mempersiapkan presentasi nyaris 2 bulan, yaitu ketika tugas diberikan di awal perkuliahan. Beberapa rekan saya repoti dengan membenahi gramatika bahasa tulis saya *I will never forget you guys*. Bahkan dua minggu sebelum presentasi, saya sudah menyiapkan power pointnya dan berlatih untuk membawakannya. Setiap kali berlatih membawakannya dalam bahasa Rusia, yang ada saya malah frustasi. Saya merasa begitu bodoh dengan bahasa Rusia yang tersendat-sendat, rasanya tidak lancar banyak salah. H-1 sebelum presentasi bahkan saya mencoba untuk menghafal power point yang saya buat. Saya mencoba merekamnya. But it does’t work!!! Presentasi jadi kaku dan tidak natural.
Hari H tiba. Jantung saya berasa copot ketika dosen menyebut nama saya. Sudah kepalang tanggung untuk mundur, toh saya sudah dua bulan kerja dan 2 minggu berlatih presentasi, tanggung kalau tidak diselesaikan. Apa yang terjadi? Suasana pada saat presentasi berbeda dengan suasana pada saat latihan di rumah. Tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi presentasi itu mengejutkan banyak orang, termasuk saya sendiri. Saya berbicara lancar dan dimengerti walau dengan banyak kesalahan tata bahasa. Kelas yang digabung antara kelas spesialis dan magister (sekitar 60 orang; dengan komposisi mahasiswa magister yang ketika itu berjumlah 11 orang sisanya mahasiswa spesialis) terkejut dengan penampilan saya. Tepuk tangan itu seakan masih bisa saya dengar sampai hari ini. Dosen saya, Larisa Karapetyan, terheran-heran. Sejak saat itu teman saya bertambah banyak. Pujian dari sana-sini. Halaman vkontakte (facebook ala rusia) saya ramai dengan permintaan pertemanan dari orang orang yang hadir dalam kelas seminar, namun tidak saya kenal. Pesan rata-rata tertulis “Ardi… Presentasimu mengesankan! Kamu orang berani mati!” .
Berita menyebar bahwa saya pekerja keras, saya punya style komunikasi yang unik yang membuat mereka engange dengan apa yang saya katakan. Hari itu jadi titik balik bagi saya. Saya sadar dengan kekuatan saya. Bahkan ada satu mata kuliah seminar dimana peserta kuliah mengantuk, tidak ada applause untuk setiap presentasinya, namun mereka justru bangun setelah 5 menit saya presentasi, dan lagi-lagi tepuk tangan di akhir. Bukan tepuk tangan malas, tapi tepuk tangan yang menunjukkan respek. Sebanyak 4 kali, penugasan presentasi saya dinilai terbaik oleh peer reviewers alias rekan-rekan saya sendiri. Kewajiban mengajar mahasiswa strata 1 sebanyak 4 kali pertemuan juga saya jalani sebagaimana mahasiswa Rusia lain dijenjang master. Tidak terbersit untuk meminta dispensasi. Evaluasi dari mahasiswa yang saya ajar di S1, menunjukkan kepuasan dengan ekspresi dan gerak tubuh saya yang lucu dalam memberikan contoh. Saya memang seringkali agak rela sedikit “membully” kisah saya sendiri untuk membuat mereka tetap involved dengan proses pembelajaran di kelas. Dua kali yang saya ingat, makalah saya dalam psikologi politik dan psikologi sosial kognitif -yang secara gramatika seharusnya tercela- justru dipuji oleh dosen karena secara isi dianggap terbaik, bahkan melebihi teman-teman Rusia saya. Semua ujian saya lewati sebagaimana anak Rusia yang lain, tanpa meminta dispensasi apapun.
Disini saya hanya ingin menyampaikan pentingnya total mempersiapkan diri. Contohnya, persiapan makalah 2 bulan dan 2 minggu presentasi seperti yang saya lakukan di awal penugasan. Sungguhpun selama 2 minggu saya merasa gagal total ketika berlatih, namun itu bukan berarti sia-sia. Selama 2 minggu itu sebenarnya otak saya diam-diam menangkap beberapa kosakata baru, menangkap apa yang saya pelajari, sekaligus tetap membuat saya pada kondisi siaga dengan apa yang bakal saya hadapi. Sampai hari ini, kebanyakan hasil dari apa yang saya latih justru tidak terlihat disaat latihan, tapi justru muncul ketika dibutuhkan atau mendesak. Bahkan ada satu mahasiswa saya yang kebetulan magang di unit yang pernah saya pimpin, Sekar, kaget ketika saya bercerita bahwa sebenarnya saya selalu tegang sebelum mengajar. Dan itu selalu terjadi kurang lebih 5 menit pertama ketika saya mengajar. Yang mengherankan sejauh ini komentar terhadap gaya mengajar saya cukup positif dan cukup membuat mahasiswa terlibat aktif.
Ada hal lagi yang penting yang selalu saya terapkan ketika saya melakukan presentasi atau membuat makalah dalam bahasa Rusia, yaitu adalah prinsip simplisitas. Ibarat hipotesis atau decision making ini seperti prinsip law of parsimony. Penjelasan yang simpel dengan bahasa keseharian adalah penjelasan yang terbaik. Jelas pastinya, dengan bahasa Rusia yang bukan bahasa ibu saya, menghafalkan teori-teori deyatelnosti psikologi Rusia dengan bahasa text-book yang rumit adalah hal yang menghabiskan energi. Kekuatan saya bukanlah pada kosakata yang kaya dan kalimat yang kompleks, namun justru karena keterbatasan kosakata yang saya miliki (sehingga saya menjelaskannya dengan bahasa sederhana dengan contoh keseharian) ditambah keyakinan ekspresi, gerak tubuh, mimik, ritme dan intonasi suara, sambil sesekali berinteraksi dengan audience ketika mengilustrasikan sesuatu. Kekuatan komunikasi tak hanya terletak di kompleksitas kata, tapi justru pada simplisitas pemahamannya, dan keyakinan dalam menyampaikan bahasa. Dan bahasa itu tak harus bahasa Rusia. Tangan anda adalah bahasa, ritme dan intonasi anda adalah bahasa. Wajah anda juga bahasa.
Satu hal lagi, penting bagi anda untuk tak meminta dispensasi apapun atas keterbatasan anda. Hampir semua pengajar, sempat memandang saya sebelah mata di awal perkuliahan di tahun 2009. Saya sempat meminta silabus dan bahan bacaan kepada dosen pengajar mata kuliah Psikologi Konflik, Lyubov Viktorovna (yang juga sekaligus menjadi supervisor tesis saya), di awal semester 2009. Ia dengan pandangan mata kasihan hanya menghela nafas panjang sambil pelan-pelan mengatakan kepada saya, “Besok akan saya bawakan.” Supervisor saya bahkan sempat mengakui secara jujur bahwa masa awal membimbing saya dipersepsikan penuh dengan kesangsian. Hal itu diakui oleh supervisor saya ketika beliau memberikan testimoni setelah saya mempertahankan tesis. Dosen lain, Alexei Maltsev, di mata kuliah Konstruksi Tes, di awal pertemuan pada tanggal 3 september 2009 pernah meminta kami untuk mengerjakan pre-test multiple choice sebanyak 50 soal. Anda tahu, selama satu setengah jam tes itu diadakan, saya hanya mampu mengerjakan 3 soal, karena saya justru bolak balik membuka kamus, sekedar berusaha untuk memahami pertanyaan dari 3 soal yang berasal dari satu bacaan panjang. Iya saya hanya mengerjakan 3 soal dari 50 soal. Itupun belum tentu benar jawabannya. Selepas ujian, ia dalam-dalam melihat saya. Ia menghela nafas panjang dan mengatakan, “kamu butuh kerja yang sangat amat keras, bukan sekedar kerja keras atau sangat keras. Tapi sangat amat keras.”
Bagaimana Maltsev menatap dan mengucapkan kalimat tersebut membuat saya ingin menangis. Saya pada waktu itu merasa kecil sekali dengan kemampuan saya. Saya takut gagal. Saya menangis setiba di asrama. Saya menelpon ibu di Indonesia dan menceritakan bagaimana ketakutan saya. Dosen psikologi politik Alexander Lyubyakin, dosen ini masih sering tersenyum, ia beberapa kali menepuk pundak saya sambil mengucapkan, “Kamu perlu mengejar ketertinggalanmu!” Salah satu dosen multivariate statistik, Alexander Bodnar, yang sempat mengajari kami pada sub mata ajar factor analysis sempat dengan jelas menunjukkan kekecewaannya pada saya, karena saya tak bisa menjawab pertanyaannya di kelas di tahun 2009.
Akhir semester ganjil di tahun 2009, di mata kuliah Konstruksi Tes oleh Alexei Matlsev saya mendapat nilai 5 (A). Saya mengerjakan tugas 40 analisis soal dari 20 yang diminta. Semua rekan-rekan Rusia yang lain hanya mengerjakan 20 analisis. Yang dia katakan selesai ujian adalah “Ardi!!! Ti pravda Geroi!!! Est svobodna vremya? Davaite po piyom cai v moem kabinete?” (Ardi, kamu benar-benar pejuang! Punya waktu luang! Saya undang kamu minum teh di ruangan saya). Saya bertemu lagi dengan Alexandr Bodnar -dosen yang sempat kecewa dengan saya karena tak mampu menjawab pertanyaannya di kelas statistik- di sidang tesis tahun 2011. Ketika itu dia hadir untuk melihat anak supervisinya, namun yang terjadi dia justru berdiri dan bertepuk tangan paska kalimat penutup sesi tanya jawab presentasi tesis saya. Pertama kali saya melihat senyumnya, dan itu adalah hal yang berkebalikan dengan gelengan kepala yang pernah saya lihat 1,5 tahun sebelumnya. Supervisor saya, Lyubov Okonecnikova, di depan mahasiswa yang hadir dan dewan penguji di sidang terbuka, mengakui bahwa menjadi supervisor saya adalah hal yang awalnya dianggap paling berat, namun setelah satu semester, dia mengakui bahwa kekeraskepalaan saya adalah hal yang baru pertama kali dia lihat selama dia mengajar, dan justru membuat pekerjaannya menjadi lebih mudah. Kepala Departemen Psikologi Sosial, Natalia Minaeva dan dekan saya siang itu juga menawarkan saya untuk melanjutkan S3 di sana. Di akhir sidang, Minaeva mengatakan kepada saya bahwa kebanggaan bukan pada saya, tapi pada Fakultas yang pernah saya singgahi. “Fakultas ini merasa beruntung disinggahi oleh orang asing yang keras kepala seperti anda”, kata Minaeva. Review tesis saya sebanyak dua lembar dari Minaeva saya simpan sampai hari ini sebagai kenang-kenangan.
Saya lulus dengan Red Diplome, plus 2 kali publikasi artikel riset saya di jurnal bertaraf vakovskiy atau jika di Indonesia itu setingkat dengan jurnal nasional terakreditasi A. Saya satu-satunya diantara semua lulusan saat itu yang risetnya dipublikasi di vakovskiy jurnal. Irina teman saya mengatakan bahwa belum ada di fakultasnya orang asing yang pernah mendapatkan red diplome. Di Fakultas saya-pun ternyata saya didapuk sebagai orang asing pertama yang mendapatkan red diplome. Tak lama kemudian Uceniy Soveti (Dewan akademik) Fakultas Psikologi segera mengeluarkan rekomendasi kepada saya untuk langsung melanjutkan S3. Kurator saya, Vera Makerova, dan supervisor saya, Lyubov Viktorovna, juga menandatangani rekomendasi untuk melanjutkan S3 yang akhirnya saya gunakan untuk pada program PhD di MGU dan St.Petersburg State University. Terlepas kemudian sekarang saya justru melanjutkan di University of Warsaw, Polandia.
Selama saya di kelas tak bisa aktif berdiskusi dan berdialog karena keterbatasan bahasa, hanya satu yang bisa saya lakukan. Saya harus mencuri point dalam hal yang lain. Doklad/makalah masih bisa dikerjakan sebaik-baiknya di rumah. Presentasi juga bisa dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Saya merasa diuntungkan dengan sistem ujian di Rusia yang nyaris di semua mata kuliahnya menggunakan ujian lisan. Dengan ujian lisan, saya bisa mengekspresikan apa yang saya mengerti dengan menyebutkan terminologi inti plus nenambahkan ilustrasinya dengan uraian dan contoh yang simpel sesuai dengan kemampuan bahasa saya. Tidak ada terbersit dalam pikiran saya, bahwa saya ingin meminta dispensasi ujian. Sebagai minoritas dengan kemampuan yang diragukan, permohonan dispensasi justru akan membuat saya semakin tak berharga. Respek itu datang ketika mereka tahu bahwa kita ingin diperlakukan sama, saat mereka tahu bahwa kita adalah petarung, sungguhpun tak selalu menang.
BERSAMBUNG
Pingback: Survive belajar di negeri-negeri Slavic? – ardinov.com
Pingback: houston junk car buyer