Articles

Perlukah Saya Berangkat ke Rusia ? (bagian 2)

Umom Rossiyu ne ponyat

arsinom obshim ne izmerit,

u nei osobennaya stat,

v Rossiyu mozhno tolko verit

26 November 1866, Fyodor Tyutcev

Menggambarkan karakteristik bangsa Rusia bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin bagi bangsa Rusia sendiri. Puisi yang di tulis oleh Fyodor Tyutcev di atas di awali dengan kalimat: Jalan pikiran bangsa rusia tidak dimengerti, tak satupun hitungan yang bisa mengukurnya, ia menjadi istimewa, karena bagi bangsa Rusia yang ada adalah percaya.

Puisi tersebut sedikit banyak cukup menggambarkan bagaimana orang Rusia menggambarkan dirinya sendiri yang susah dimengerti. Dan memang demikian. Orang rusia menjadi menarik karena kompleksitas kepribadiannya. Rusia bagi sebagian bangsa adalah ekstrim. Namun penilaian ekstrim terhadap rusia itu-pun tak hanya berlaku atas penilaian bangsa kita, Indonesia, bahkan bagi bangsa eropa lainnya, Rusia tetap dianggap ekstrim. 5 bulan saya menginjakkan kaki di Eropa, Rusia selalu menjadi bahan pergunjingan, ledekan, dan sinisme di lingkungan sekitar saya. Tak hanya dari orang Polandia yang memang “sinis” dengan mereka, tapi juga diantara teman-teman dari eropa barat, tengah, dan timur lainnya, ditambah dengan Australia, Amerika, ataupun Jerman. Segala sesuatu yang buruk mulai dari kemiskinan, dan peradaban aneh selalu dilekatkan dalam sinisme mereka tentang Rusia.

Namun jangankan bagi bangsa lain yang menganggap Rusia adalah ekstrim, Rusia sendiripun menilainya dirinya jauh lebih dari ekstrim, karena mereka sampai pada titik yaitu “tak dapat dipahami” . 23 persen wilayah rusia berada di Eropa, dan 77 persen dari mereka berada di Asia. Dan 40 persen wilayah Eropa adalah wilayah Rusia. Terlepas terdapat semacam mitos bahwa di Eropa semakin ke timur maka budayanya semakin dekat dengan asia (Sebaliknya semakin ke barat eropa maka semakin bebas). Karakteristik rusia tidak semata-mata mudah dipahami hanya karena letak geografisnya. Letak geografis memang menjadi satu faktor atas perilaku mereka, namun tidak semua.

Di Rusia anda begitu mudah bertemu dengan orang yang mengucapkan kalimat dengan intonasi tinggi, marah-marah, dan mengomel, namun seketika bisa berbalik menjadi sangat murah hati. Ini pernah saya alami berulang kali. Terakhir adalah di kereta trans ural dari Moskow ke Ekaterinburg, November 2012. Ibu setengah baya masuk ke gerbong di kereta dan mengomel panjang lebar karena melihat tempat bagasi kereta yang penuh. Orang barat bisa jadi muak mendengarkan omelannya. Tapi bagi saya yang pernah 3 tahun hidup di Rusia, saya tak pernah ambil pusing dengan omelan mereka. Saya tenang dan senyum saja. Setelah 30 menit perempuan itu  duduk, dia mengeluarkan bungkusan plastik besar yang isinya bekal makan 2 hari di kereta.  Dia menanyakan, “kamu darimana?… Sudah makan? makananmu mana?” Saya bilang, tidak bawa bekal nanti beli di kereta saja. “Gila kamu, banyak uang ha! Ayo makan bekal saya!” Bisakah saya menolak? Tidak.

Lelaki tua yang tidur di seberang atas tempat saya tidur di gerbong, yang sepanjang perjalanan hanya minum bir dan vodka di kereta untuk membunuh bosan, berkali-kali dengan mulut bau alkohol dan gaya bicara mabuk bilang “kamu saya dengar tak bawa bekal. Saya tadi sudah taruh makanan di meja itu buat kamu! Kamu kenapa tak ambil makanan yang saya kasih ke kamu?” Saya jawab saya sudah makan. Jawabnya, “Saya cek tidak berkurang! Kamu jangan bohong? Saya tak suka orang bohong!” Lantas bisakah saya menolak? Tidak.

Satu contoh lagi, pagi hari ketika kereta saya mampir berhenti 15 menit di stasiun kecil, saya turun dan ingin membeli makanan di stasiun tersebut, namun uang saya ternyata tak ada kembaliannya. Ketika saya kembali ke tempat duduk saya di kereta dan tanpa membawa makanan apapun, perempuan tua di depan saya bertanya, “lhoh kok tak beli apa-apa?” Saya bilang mereka tak punya kembalian. Tahu apa yang dia lakukan? Perempuan tua ini yang turun dan membeli makanan. Setelah kembali saya ditanya berapa banyak uang receh yang saya punya untuk mengganti uang yang dia belanjakan semampu saya. Kenapa dia tak punya uang receh, karena dia pun tak punya uang kembalian bila saya memberikan uang pecahan besar yang saya punya.

Nah lho… Kompleks kan? Mabuk tapi memberi. Ngomel tapi berbagi. Tapi ini bukan pola yang sifatnya prediktif, testable dan generalisable. Inilah yang disebut sebagai Umom Rossiyu ne ponyat.

Apapun setiap kali sinisme terhadap Rusia muncul, selalu terdapat kesan implisit bahwa Rusia itu memang patut di tertawakan sekaligus “berbahaya”. Tertawa karena memang frekuensi logika yang digunakan tidak sama sekaligus ada tendensi untuk menunjukkan eksistensi identitas bahwa Rusia apapun jauh dibandingkan dengan identitas kelompok mereka. Kesan rusia berbahaya secara bersamaan dan tak langsung menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang disegani.

Bangsa yang misterius dan penuh kejutan

Fakta sejarah memang telah menunjukkan, Rusia sampai saat ini adalah negara yang misterius, namun penuh kejutan. Ini membuat mereka semakin sulit dipahami. Bila ada idiom tidak ada kata terlambat, Rusia patut mendapatkan 5 credit atas itu. Mereka berkali-kali mampu merubah sesuatu yang terlambat dan bukan apa-apa menjadi sesuatu yang luar biasa. Sebelum abad 17, mereka bukanlah siapa-siapa. Ras Slavic di Rusia, ketika itu, hanyalah bangsa terbelakang di eropa yang secara sains dan teknologi ketinggalan 3 abad dari tetangga-tetangganya. Gerakan renaissance di eropa sudah dimulai sejak abad 14, dan Rusia baru memulai 3 abad setelahnya.

Tapi siapa yang sangka, dengan tangan dingin Tsar Pyotr Velikiy (Peter the Great) di abad 17, Rusia dalam sekejap menjadi negara yang ditakuti dan disegani di Eropa. Revolusi budaya dilakukan secara besar-besaran dalam merubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern, ilmiah, rasional dan berorientasi pada ‘harus sama atau bahkan lebih dari ’ eropa.  Tsar Peter secara terbuka menerima pandangan Gottfried Wilhelm Leibnitz, dimana Leibnitz memang berperan menjadi konsultan pengembangan sains di Rusia pada masa itu. Anda yang pernah mengambil mata kuliah saya di Sejarah Aliran Psikologi ataupun Filsafat ilmu logika, mungkin masih ingat siapa Leibnitz.

Saking ngototnya Tsar Peter melakukan modernisasi di Rusia pun, segala sesuatu yang bersifat klenik dan tak masuk akal dilarang hidup. Pendeta kristen ortodoks pun konon disuruh memotong jenggot, karena jenggot dianggap sebagai simbol konservatisme dan penolakan terhadap perubahan. Peter the great adalah figur yang ambisius, progresif, dan terbuka terhadap perubahan.

Akibatnya perkembangan seni, sastra, teknologi, dan sains melesat cepat akibat gerakan modernisasi yang dilakukan oleh Peter the great. Bertahun-tahun setelah Tsar Peter meninggal lahirlah ahli-ahli hebat yang tercatat dalam sejarah Rusia sebagai dampak revolusi budaya yang dicetuskannya. Di dunia musik klasik, Rusia tak bisa tidak harus dijadikan sebagai salat satu kiblat. Tak ada yang tidak tahu dengan nama Tchaikovsky, Rachmaninov dan Anton Rubinstein. Siapa juga yang tidak tahu dengan roman yang begitu eksistensialis macam Dostoevsky, Tolstoy, atau Cekov. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Dmitri Mendeleev dengan tabel periodik kimia –yang sering kita buat jembatan keledainya untuk menghafal di jaman SMA-, yang kemudian temuan Mendeleev-pun ikut menjadi inspirasi bagi kelahiran psikologi dari pseudosains menjadi sains. Tak bisa dipungkiri Bapak Psikologi Dunia, Wilhelm Wundt, berambisi untuk mengkategorisasikan kesadaran seperti halnya Mendeleev mengkategorisasikan unsur-unsur kimia.

Rusia paska kejatuhan dinasti Romanov di awal abad 20 juga tak henti membuat kejutan. Negara ini membangun sistem sedari awal lagi. Dan dari negara yang nyaris habis karena pertumpahan darah, mereka tumbuh menjadi negara adidaya, walau kurang dari 80 tahun kemudian hancur lebur lagi.

Eksperimen Pavlov -sungguh pun usang-  dianggap sebagai riset pertama yang menerapkan kaidah eksperimen murni dalam melihat perilaku. Ia pun mendapatkan hadiah nobel atas dedikasinya. Psikologi kognitif juga tak pernah lekang dengan nama Lev Semyenovic Vygotsky. Prototype lie detektor pertama juga ditemukan oleh Alexander Luria. Statistik juga mengenal uji korelasi non parametrik kolmogorov smirnov. Dalam perspektif sains kontemporer macam complexity science dan teori sistem, nama Alexander Bogdanov akan hambar jika tidak disebut.  Selama 80 tahun mereka menunjukkan kebangkitan dan kedigdayaannya, terlepas dari kontroversi Stalin yang memang haus darah. Namun bahkan ketika mereka hidup dalam jaman otoritarian stalin pun, masih banyak sisi-sisi manusiawi yang manis yang ditunjukkan oleh relasi masyarakatnya, yang mungkin tidak akan pernah banyak disangka oleh orang. (nanti artikel blog berikutnya). Karakter orang Rusia memang tangguh dan tahan banting. Anda yang membaca tulisan saya Rezim dan mainstream mungkin bisa membayangkan bagaimana hebatnya perjuangan dalam senyap para ilmuwannya untuk mengungkapkan kebenaran yang diyakininya di tengah tirani ideologi di masa Stalin.

Dan bagi saya yang pernah 3 tahun hidup disana, maka tidak bisa saya pungkiri bahwa saya kurang lebih mempunyai ikatan emosional terhadap masyarakatnya. Ibarat seorang etnografer, maka selama 3 tahun saya melihat dan mencatat bagaimana kehidupan masyarakat yang banyak dicibir oleh sebagian bangsa Eropa ini.

Masa Rusia telah habis?

Banyak pengamat mengatakan masa Rusia telah habis paska kejatuhan Uni Soviet. Bila anda yang bisa berbahasa rusia pernah membaca atau melihat tabel dalam buku- “Kuda idet Russiya (belaya kniga reform)” tulisan Kara Murzi, Batcikova, Glazyeva, maka segala aspek kemajuan dalam kehidupan masyarakat paska kejatuhan Uni Soviet bisa dibilang terjun bebas hingga sekarang. Bila toh ada pergerakan naik, pergerakan naik itu kecil sekali dan sangat tidak sebanding dengan kejatuhan pasca 91. Aspek-aspek seperti pembangunan infrastruktur dan pelayanan kesehatan, pendidikan, jalan, pemukiman, jaminan sosial terus menunjukkan pola yang sifatnya regresif. Hanya penjualan minuman beralkohol paska jatuhnya Uni Soviet yang menunjukkan kenaikan.

1) Produksi dan 2) Penjualan Bir pada saat Uni Soviet dan Federasi Rusia

1) Produksi dan 2) Penjualan Bir pada saat Uni Soviet dan Federasi Rusia

 

Beberapa dosen saya menyebutkan bahwa Rusia mengalami degradasi moral dan frustrasi sejak era glasnost. “Negara ini sudah dijual,” kata mereka.

Saya tak harus hidup di jaman Soviet untuk melihat bagaimana nilai-nilai sosial di era itu. Artefak yang ditinggalkan di jaman itu memang jauh-jauh lebih beretika dan harmonis dibandingkan sekarang. Anda mungkin kaget bahwa adegan seks pertama dalam sejarah film rusia justru dimulai sejak era glasnost, yaitu pada tahun 1988 pada film Malkenaya Vera (Bandingkan dengan film Hollywood?). Sebelumnya tak ada satupun film rusia yang menunjukkan perempuan dengan dada terbuka, karena hal tersebut dilarang oleh pemerintah soviet dan melanggar norma sosial. Bahkan, berciuman di tempat umum juga hal tabu untuk dilakukan oleh orang rusia di jaman soviet. Hal sebaliknya terjadi sekarang,  pornografi yang dimainkan oleh pemuda-pemudi di rusia dengan mudah ditemukan di website-website tertentu. Gempuran media barat sejak Glasnost mau tak mau memang merubah karakter masyarakatnya.

Lalu benarkah masa keemasan Rusia hanya masa lalu? Benarkah yang tersisa hanyalah berita buruk dan keluhan?

Apapun memahami masyarakat dimanapun tak bisa dipahami dengan judgment dualitas semata, seperti baik buruk, korup-jujur, mabok-sadar, asia-eropa, rasis-bersahabat. Masyarakat dimanapun merupakan sistem kompleksitas, yang hubungannya silang sengkarut, dinamis dan kompleks. Mereka bisa mempunyai sifat yang berlawanan namun terjadi secara bersamaan. Saya melihat bagaimana “dingin” sekaligus hangatnya masyarakat Rusia. Saya merasakan bagaimana “kejam” sekaligus bagaimana sifat welas asih mereka. Saya merekam bagaimana pandangan-pandangan mereka yang progresif sekaligus menjadi saksi bagaimana sebagian dari mereka yang masih sangat teguh dengan nilainya, kalau tidak bisa dikatakan konservatif dalam memegang nilai-nilai lama. Saya melihat pula bagaimana kesenjangan antara kehidupan di kota dan di desa, namun sekaligus melihat kekayaan hidup orang di desa melebihi dari orang kota. (Kapan-kapan diceritain soal ini)

2_2

Grafik angka fertilitas dan kematian di Uni Sovyet dan Republik Federasi Rusia. Hijau menunjukkan angka kelahira,n sedangkan hitam menunjukkan angka kematian.
Rasio 1: 1000

 

Bagi saya sendiri, emas dalam masyarakat dan pendidikan di Rusia bukanlah pada sistemnya yang canggih atau laboratorium yang mewah. Saat ini, bahkan mungkin laboratorium dan gedung kampus anda di Indonesia jauh lebih mewah dan megah daripada kampus-kampus universitas di Rusia. Banyak perguruan tinggi di Rusia, saat ini tak mempunyai gedung semewah kampus anda. Terlepas Putin dan Medvedev punya ambisi yang luar biasa untuk menyamai atau melebihi pendidikan  di eropa barat dengan menggelontorkan miliaran rubel untuk anggaran pendidikan.

Anda mungkin sulit percaya, bahwa Fakultas Psikologi MGU, yang menghasilkan orang seperti Vygotsky, Luria, Leontyev, Davydov tak lebih besar dari gedung FIB Unair. Fakultas Psikologi, St. Petersburg State University yang gedungnya terlihat megah, itupun bukan benar-benar milik Fakultas Psikologi, tapi share building dengan 3 fakultas.

Yang saya rasakan berbeda bukanlah pada kecanggihan sistemnya namun justru pada cara-caranya yang masih manual dan sederhana. Anda tak banyak bertemu robot disana, tapi anda berinteraksi dengan manusia. Berinteraksi dengan manusia adalah sejatinya adalah art of life yang membuat sosial skill kita terasah. Di Rusia anda tak bertemu mahasiswa yang mengurus urusannya sendiri, tapi anda bertemu manusia yang berkomunikasi dan peduli. Di Rusia ada dedikasi para dosen yang luar biasa di tengah keterbatasan dan ketidakpastian hidup. Dosen yang hidup sederhana karena bergaji kecil namun masih mengajar sepenuh hati. Mereka tak pernah memotong kelasnya, sungguhpun gaji profesi dosen sejak jaman Soviet bubar juga ikutan terjun bebas. Alexander Kiselev, salah satu dosen saya, tetap menekuni penelitian yang diminatinya, sungguhpun harus bekerja sendiri dan tidak mendapat dukungan dari siapapun.

Dan yang paling emas bagi saya adalah suasana belajar kolektif yang tidak pernah saya temui dimanapun, termasuk di Indonesia. Scaffolding ala vygotskian bukan sekedar teori di Rusia, namun sudah menjadi bagian dalam kehidupan akademik yang saya alami selama saya di sana. Pulang kuliah, saya tak ewuh bertanya kepada teman tentang konsep yang saya tidak ketahui. Mereka dengan rela membahas materi yang baru diajarkan, penugasan ke depan, hingga belajar bersama menjelang ujian di kantin, perpustakaan, atau dimanapun. Inisiatif kadang bukan dari saya, tapi dari mereka. “Tadi kamu ngerti?”, “Kamu yakin bisa?” Bila toh sama-sama tidak mengerti, kami-pun mencari tahu dengan cara berantai hingga kami benar-benar mengerti. Kepedulian mereka tak sekedari di masalah content kuliah, namun juga sampai ke masalah pembenahan tata bahasa rusia saya. Peran kurator disini sangat penting biasanya untuk membuat teman-teman seangkatan peduli antara satu dengan yang lain. Di antara teman-teman saya bahkan  ada yang selalu menawarkan untuk menjadi QC gramatika atas doklad saya. Hingga saya lulus, saya banyak berutang budi dengan satu teman saya yang bernama Seva Minaev. Dia adalah teman diskusi yang kritis, sekaligus QC bahasa yang sabar.

Itulah kenapa ketika kaki saya menginjakkan kaki di eropa, saya benar-benar merasakan ada hal yang secara prinsip berbeda pula dengan di Rusia. Hal itu pula yang tiba-tiba mengingatkan pada film yang pernah saya tonton pada waktu masih SD, kalau tak salah judulnya Iron Eagle 2. Dalam film ini Uni Soviet dan USA tiba-tiba menjadi sekutu untuk membasmi gerakan radikalisme. Di akhir cerita, seorang pilot wanita Uni Soviet sempat mengatakan kepada pilot USA bahwa mereka terbang dengan motif yang berbeda, “Aku terbang untuk rakyatku, dan kamu terbang untuk dirimu sendiri.” Hari penyerahan ijasahku di Rusia pada tahun 2011 lalu, tak ada sedikitpun pikiran bahwa saya bisa berdiri karena semata kekuatan saya, kolektivitas hidup itu menjadikan merekalah yang layak diberikan bintang atas apa yanag sudah saya lewati.

Apapun menjawab pertanyaan awal, benarkah Rusia hanya masa lalu? Contoh di abad 17 dan abad 20 mungkin cukup dijadikan ilustrasi. Kita masih tidak tahu apa yang terjadi 20 tahun lagi.

 

Bersambung

 

4 Comments

Leave a Reply to Chinthia Indah Cancel

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*