Rasionalitas dan Imajinasi manusia modern
Kata Fromm, “Manusia mungkin tak pernah mengganggap manusia lain yang jauh dari medan hidupnya adalah saudaranya”. Ia tak banyak mengenali objek di dunia dengan nalurinya. Ia tak seperti hewan yang mampu mengenali apapun disekitarnya dengan naluri instingtualnya. Kucing mampu mengenali kehadiran kucing yang lain dengan instingnya. Kucing-pun mampu bertahan hidup dan mengenali bahaya dengan instingnya.
Seiring dengan keistimewaan manusia sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk lain, ia berkembang dengan dominasi kognitif yang jauh-jauh melebihi naluri instingtualnya. Kebutuhan hidup dan zeitgeist manusia modern yang selalu bertujuan untuk mampu bertahan dalam tekanan sosial ekonomi membuat manusia lebih didominasi rasio kognitif untuk mempertahankan eksistensinya dalam bertahan hidup. Fromm menegaskan paradoks manusia bahwa manusia terutama karena kurang memiliki perangkat insting sehingga ia menganggap orang asing seolah-olah sebagai spesies yang lain. “Kemanusiaan manusialah yang membuat manusia sangat tidak manusiawi”. Orang-orang asing yang berbeda dan jauh dari kepentingan dan kebutuhan hidupnya akan dianggap sebagai orang dari spesies yang berbeda.
Kelahiran pemikiran modern semakin mentahbiskan peran rasio manusia dalam kehidupannya dan mengabaikan aspek spiritualitas yang tak tercerap indera. Modernisme memang tak bisa dipungkiri memusatkan individualisme dengan rasio sebagai titik sentral kehidupan manusia. Rene Descartes, yang terkenal dengan diktumnya “Cogito Ergo Sum!”, bahkan mengungkapkan dengan jelas bahwa jiwa tidak memerlukan apa pun selain rasio yang ada dalam dirinya. Kant yang mempopulerkan diktum “sapere aude!” atau berani berpikir sendiri yang seakan menunjukkan sebuah semangat bahwa hanya rasio yang dapat membebaskan manusia dari belenggu irasionalitas. Kita adalah tujuan kita sendiri dan bukan dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan orang lain. Yang lain hanyalah objek. Konsekuensi dari hal ini kemudian obyek yang berada di luar sana tidak mempunyai nilai intrinsik yang mesti dipertimbangkan. Nilai instrinsik adalah di dalam diri dan terpusat pada rasio sehingga dampaknya satu-satunya referensi manusia untuk memperlakukan obyek di luar dirinya adalah hasrat dan kepuasan dirinya sendiri.
Modernitas tidak melihat bahwa komunitas adalah sebuah sentral dalam kehidupan dikarenakan masyarakat tidak lain hanyalah kumpulan individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu. Manusia dan alam yang berada di luar kedirian hanyalah peristiwa yang deterministik dan bukan merupakan tujuan utama. Mereka tak lebih dari sarana yang dipakai untuk mencapai tujuannya. Weber mengungkapkan bahwa rasio hanya mampu berurusan dengan hal-hal yang bersifat fakta-fakta dan bukan nilai-nilainya yang tak mampu dicerap oleh indra manusia. Rasio hanya mampu menjawab pertanyaan yang bersifat instrumental dan bukannya nilai-nilai spiritualitas. Rasionalitas instrumental menurut Weber adalah bagaimana rasio mampu menjawab pertanyaan bagaimana cara mencapai tujuan.
Harmoni dalam spiritualitas manusia bukanlah cita-cita karena tak rasional dan tak mampu dilihat, didengar, dikecap, dibau, dan disentuh. Spiritualitas modern hanya meletakkan dimensi materialisme ekonomi (selain dimensi rasional dan saintisme) sebagai landasan utama spiritualitas individu. Louis Dumont mengatakan bahwa salah satu ciri khas manusia modern adalah dikarenakan ia meletakkan hubungannya dengan benda material menjadi yang utama dibandingkan dengan yang lain. Dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia hanyalah menjadi epiphenomenon (dimensi kedua) dan dimensi pendukung atas tercapainya pencapaian kesejahteraan dalam dimensi ekonomi. Produktivitas dalam pengertian ekonomi menjadi segala-galanya.
Perkembangan Darwinisme sosial kemudian menjadi titik tolak atas nilai moral bahwa ras manusia akan bisa dibuat menjadi lebih baik melalui sistem individualisme kompetitif. Prinsip-prinsip seleksi alam menjadi basis kehidupan manusia modern. Barangsiapa yang tak dapat beradaptasi dengan persaingan maka dia akan dijadikan budak, punah, dan mati. Dalam kesadarannya, orang menerima hal ini menjadi bagian kebenaran atas konstruksi realitas yang dibentuk oleh modernitas. Siapa yang kuat dialah yang menentukan apa yang benar. Kehidupan tak lain adalah bentuk mekanisme adaptasi dan pertahanan diri.
Lalu keseharian manusia modern tidak bisa tidak memang didominasi oleh nilai-nilai ekonomis untuk bertahan hidup yang bergulat hampir selama 24 jam di kepalanya. Kaum-kaum kelas menengah bekerja dari pagi hingga malam hari untuk mengisi kebutuhan hidupnya yang ekonomis. Mereka bekerja delapan jam lebih sehari untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mengumpulkan uang, membayar cicilan rumah, kendaraan, dan membayar sekolah anak-anaknya. Beberapa orang yang lebih mapan dalam memenuhi kebutuhan primer, terobsesi dengan pengumpulan objek-objek kapital seperti asuransi, tanah dan kendaraan untuk anak-anak. Hidup manusia modern berada dalam imajinasi untuk kaya atau kecemasan untuk mampu mempertahankan hidup. Yang bertahan hidup hanya mampu berpikir bagaimana besok atau bulan depan mereka mampu untuk membayar cicilan kontrakan, membayar spp anak-anak, ataupun makan. Kaum yang lebih mapan justru ketakutan bila harta yang dimilikinya berkurang. Mereka berinvestasi untuk mengumpulkan uang, tanah, dan objek-objek kapital sebanyak-banyaknya, karena jika tidak, kerugian akan segera tampak di depan mata dan orang lainlah yang akan mengambil keuntungan.
Dominasi kognisi dan makna hidup yang tereduksi pada aspek-aspek ekonomis untuk bertahan hidup membuat manusia cenderung mengabaikan aspek naluri terdalamnya dan juga altruisme. Industrialisasi besar-besaran yang mendapatkan ruhnya melalui moralitas modernisme menyebabkan manusia hidup dalam nilai individualisme dan perlahan mengikis nilai altruisme agar dapat bertahan hidup. Mereka dibesarkan dengan janji pilihan kebebasan namun kebebasan pilihan itu sebenarnya tak pernah lepas dari keniscayaan mimpi untuk menjadi superior. Tantangan dan mimpi modernism tak pernah mengijinkan pilihan-pilihan bebas pada individu untuk dapat berkehendak sesuai dengan pilihan nuraninya. Individualisme manusia modern tak pernah bertujuan untuk mencapai self–harmony. Mereka adalah pemuja kemajuan namun bukan harmoni. Individualisme ini terlanjur diarahkan terhadap pemenuhan aspek-aspek material yang berada di luar dirinya.Griffin menjelaskan bahwa dorongan spiritual manusia modern adalah selalu ingin menjadi selaras dengan yang nyata. Dengan kata lain spirit materialisme membuat kita menjadi selalu ingin selaras dengan hal-hal dan proses material. Produktif, efisien, dan efektif dalam pemenuhan objek yang bersifat material dalam dunia kapital adalah cara yang mau tak mau harus diambil oleh manusia modern untuk bertahan hidup.
Mac Intire mengatakan bahwa hilangnya aspek altruism dalam moralitas modern terkait dengan etika modernitas itu sendiri yaitu :1) etika kewajiban Kant, yaitu melakukan kewajiban atas apa-apa yang perlu dilakukan; 2) etika kalkulasi untung-rugi, maksimalisasi hasil dengan menggunakan analisis rasional; 3) emotivisme, ekspresi emotif atas individualisme dimana aku menjadi penentu dan mempunyai otoritas atas segala sesuatu.
Kasus Wan Yue adalah satu contoh kasus yang menegaskan bahwa rasio yang dibangun oleh masyarakat tak lebih bersifat instrumental. Nilai kemanusiaan yang dianggap tak tercerap oleh pengetahuan indrawi menyebabkan manusia jauh menggapai-gapai dan kebingungan dengan makna kehidupan yang bersifat nurani. Hal yang nurani adalah hal yang abstrak dan sulit digapai. Moralitas modern nampaknya terlampau dijauhkan dalam memahami moralitas diluar hal-hal ekonomis. Moralitas utama akan kemanusiaan dan kehidupan terlanjur dibangun berdasarkan nilai-nilai ekonomis. Tuntutan kebutuhan dan kepentingan material lebih bersifat kongkrit dan rasional daripada hal ihwal perilaku prososial dan kemanusiaan yang bersifat abstrak.
Perkawinan rasionalitas modern dengan logika ekonomi industri menyebabkan pekerjaan ekonomis menjadi satu-satunya nilai yang tak ternafikkan. Hal ini tak hanya dilakukan oleh masyarakat kapitalis, bahkan masyarakat komunis juga menempatkan moralitas pekerjaan ekonomis menjadi nilai utama. Sebagaimana masyarakat komunis meletakkan persamaan atas segalanya dalam mencapai kemajuan-kemajuan yang bersifat ekonomi.
Lalu kemudian timbul pertanyaan benarkah sistem individualisme kompetitif sebagai bentuk dari prinsip rasionalitas struggle of existence telah membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia? Tak ada yang memungkiri bahwa kelahiran rasionalisme berdampak pada kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, namun apakah kesejahteraan psikologis benar-benar dapat dicapai selama empat abad terakhir ini?