Tiga proposal skripsi ditempatkan di meja. Semester ini adalah semester pertamaku untuk membimbing skripsi mahasiswa selepas studi lanjut. Ini adalah pengalaman pertama seumur hidupku. Ada sedikit kegelisahan darimana harus memulai proses pembimbingan. Kegelisahan yang sama persis seperti pengalamanku pertama mengajar yang dibuliri keringat dingin dan tangan yang bergetar ketika berada di dalam kelas. Seperti juga cinta pertama yang begitu meledak-ledak dan menggelora namun menggelisahkan dan mendebarkan dada.
Kumulai membaca judulnya dan latar belakangnya. Satu proposal kubaca latar belakangnya 5 menit dan mulutku mulai menguap. Proposal kedua 5 menit kubaca dan mataku tiba-tiba terasa lengket. Proposal ketiga dan aku tak kuasa menahan kantuk. Latar belakang tulisan dalam proposal ditulis berbunga-bunga dan berseri-seri, hingga kadang tak berhubungan satu dengan yang lain. Terlalu banyak kutipan membabi-buta dan copas sana-sini sehingga akupun bingung menangkap maksud mahasiswa. Koherensi judul dan juga latar belakang yang dituliskan mahasiswa bak sulap dan magic dengan logikanya cenderung melompat-lompat kesana kemari. Satu proposal kuantitatif tadi bak kliping koran yang hanya menempel beberapa artikel dan memodifikasinya sehingga seakan-akan terdapat satu koherensi. Satu proposal yang lain kusimpulkan plagiat dengan skripsi lain. 1 proposal kualitatif tak cukup sistematis namun kuanggap cukup orisinil untuk dikaji lebih dalam. Dua proposal lain adalah penelitian replikasi kuantitatif yang sebenarnya menarik jika digarap serius.
Kecewa dan dongkol, tapi entah dengan siapa. Ini tentunya bukan kekecewaan yang pertama. 4 tahun lalu pernah kutemui hampir 10 persen mahasiswaku di semester 5 yang mengerjakan tugas esai psikologi humanistik yang terbukti mencuri karya orang lain sedangkan yang lain adalah hasil berburu dan meramu dari google. Mengecewakan karena spirit Psikologi Humanistik adalah individual differences, sehingga seharusnya keunikan gagasan dan orisinalitas ide dalam esai jadi point utama.
Aku tak memungkiri akupun pernah terjebak dalam lingkaran plagiatisme. Hingga kemudian suatu saat timbul kesadaran bahwa plagiatisme adalah pencurian yang sama seperti pencurian yang lain. Tak beda dengan koruptor yang mengambil hak orang lain. Dan tak beda dengan penjarah yang mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Aku coba merenung kenapa plagiatisme menjadi sebuah endemic yang susah disembuhkan. Barangkali tak banyak orang menyadari bahwa pada beberapa orang tertentu, ide lebih punya peluang besar untuk merubah kehidupan, sementara hal yang bersifat kebendaan untuk beberapa kasus tertentu punya dampak lebih kecil dalam merubah kehidupan seseorang. Bisa jadi endemik plagiat disebabkan karena memang orang tak tahu apa yang dilakukannya. Atau mereka tak cukup paham bahwa ide adalah properti individual yang sama bahkan jauh lebih bernilai dengan hal-hal yang bersifat material. Yang lebih parah jika si pelaku tahu dan sejak awal punya intensi ketidakjujuran.
Aku tak henti bertanya-tanya, benarkah mahasiswa-mahasiswaku adalah mahasiswa yang tidak jujur? Benarkah dalam kesehariannya mereka adalah para pencoleng? Apa benar kejujuran kurang diajarkan? Apakah mahasiswa terjebak dalam kejujuran parsial bahwa mencuri ide dan tulisan tak merugikan jiwa dan harta, sehingga kadar kesalahannya bisa ditoleransi? Kupikir dalam hal-hal tertentu mereka punya satu kejujuran, namun dalam hal-hal lain memang tidak jujur.
Problem dibalik Kejujuran adalah lebih dari sekedar bicara budaya instan dan lebih dari sekedar membanjirnya teknologi informasi yang membuat mereka mudah untuk mengakses sumber apapun dimanapun. Teknologi informasi memudahkan orang untuk mencari sumber apapun, namun itu tidak menjadi akar masalah dari problem ketidakjujuran. Problem tersebut bila ditarik lebih jauh adalah bagian problem pendidikan yang telah bias dalam memahami otoritas teoritik vis a vis dengan otoritas pribadi. Spirit ingin tahu dan pengetahuan mereka diperkosa dengan otoritas teoritik yang dianggap taken for granted. Otoritas utama adalah otoritas kutipan dan bukan otoritas dirinya sendiri. Aku percaya dalam hal-hal yang terjangkau oleh otoritas pribadinya mereka mampu untuk jujur, namun ketika mereka berada dalam tekanan eksternal dan dijauhkan dari otoritas dirinya, maka besar kemungkinan bagi mereka untuk menipu.
Otoritas teoritik di dunia pendidikan diajarkan jauh dari erotisme kehidupan mereka. Mereka tak pernah distimulasi untuk menemukan erotisme pengetahuan yang sejalan dengan erotisme diri sendiri, atau sebaliknya. Mereka tak dibuat mempunyai otoritas untuk tertantang dan mengais-mengais pengetahuan diri lewat dunia di sekitarnya, baik itu melalui kehidupan di sekitar dan konstruksi pengetahuan yang sudah ada. Yang ada dalam kepala mereka adalah satu, “Itu adalah benar. Dan aku menjadi bagian tak terbantahkan dari kebenaran itu. Aku pun bukan siapa-siapa untuk bisa membantah kebenaran itu”. Mereka tak terbiasa untuk merekonstruksi suatu hal dengan otoritas dirinya sendiri, karena kepercayaan mereka terhadap dogma-dogma pengetahuan. Pengetahuan tersebut kemudian menjadi beban dan sekedar menjadi sampah dalam kepalanya. Jauhnya pengetahuan teoritik dari erotisme kehidupan, bahkan semakin dikecilkan melalui pencapaian prestasi-prestasi artifisial.
Efek terbesarnya adalah minimnya temuan dan rekonstruksi pengetahuan baru. Efek terkecilnya namun massif dilakukan adalah hilangnya otoritas diri bahkan dalam merekonstruksi sebuah kalimat. Tak pernah ada keberanian untuk merekonstruksi atau sekedar memparafrase kalimat ketika membaca sebuah bacaan tertentu, yang ada adalah mengutip penuh sebagaimana apa yang dituliskan penulis aslinya. Evaluasi artifisial seperti nilai juga semakin mengukuhkan kebenaran teoritik yang lagi-lagi berdampak pada pengukuhan bangunan pengetahuan yang sudah taken for granted.
Kebenaran ada diluar sana, namun tak pernah dicari arti hakiki dalam ruang-ruang batin manusia. Otoritas manusia tinggal menjadi kata namun tak mempunyai makna sekaligus dibuat tidak berdaya dengan realitas luar yang terlanjur dianggap tak terbantah. Dus… ketika pengetahuan manusia dijauhkan dari dirinya sendiri dan dihadapkan pada prestasi artifisial, maka yang timbul adalah ketidakjujuran dan manusia-manusia hipokrit. Mendidik sesuatu yang jauh dari kehidupan seseorang adalah ibarat mengajarkan keterpatahan realitas. Ibarat mengajarkan sebuah nilai kejujuran namun nilai-nilai itu berada jauh diluar sana, disatu sisi mereka yang diajari menyadari bahwa dirinya tak punya otoritas untuk bisa jujur dengan dirinya sendiri.
2 Comments