Articles

Siapa yang keji?

Hampir selama 2-3 hari ini newsfeed laman Facebook saya dipenuhi simpati dan juga pengutukan terhadap aksi penembakan kantor redaksi Charlie Hebdo yang menewaskan 10 jurnalis dan juga 2 orang polisi. Media massa di penjuru Eropa bergejolak begitu juga dengan sosial media. Tak sedikit dari rekan dalam jejaring saya yang mengecam, menganggap bahwa agama tertentu terlalu sensitif dan gampang tersinggung. Saya sendiri separuh dibuat tertelan dengan angle media dan apa-apa yang ditulis oleh rekan-rekan di lini masa. Namun saya tak pernah benar-benar menelan, sebelum mencermati dan mengambil jarak. Saya cari apa sebenarnya koran Charles Hebdo ini.

Apapun respon para konsumer media massa -yang hanya asal makan apa yang dibaca- semakin membentuk stigma korban adalah bukan pendosa, dan pembunuh adalah pihak paling biadab. Mereka ikut memasang tagar #jesuischarlie yang dalam bahasa Indonesianya berarti “Aku adalah Charlie”. Kolom komentar di media dan juga lini masa dibuat berperang dan saling hujat. Ejekan terhadap ajaran tertentu semakin keras didengungkan, karya-karya penuh satir yang menghina orang dalam kelompok tertentu dipajang. Dalam kolom-kolom opini, mereka mentertawakan agama tertentu dengan humor sarkas. Dengan riang mereka menuding bahwa golongan tertentu lebih jahat dibandingkan kepercayaan lainnya. Sedih sekali mendengarnya, terutama kepada beberapa rekan yang percaya dengan humanisme, namun secara tak sadar terbawa dalam kebencian terhadap kelompok manusia lain yang berbeda. Tagar je suis charlie menyebar hebat. Dimana itu berarti bukan hanya menunjukkan ketidaksetujuan terhadap aksi terorisme, namun lebih dari itu, secara tak langsung mendukung serta bersimpati dengan apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo.

Saya meyakini, tak ada ajaran agama yang membenarkan pembunuhan ini. Termasuk agama yang sekarang banyak disudutkan sebagai agama paling agresif di kalangan masyarakat barat. Saya-pun sama sekali tak bersimpati dengan aksi teror dan radikal ini. Namun apakah memperbesar magnitude “Je suis charlie” adalah tepat?

Tahukah mereka koran seperti apakah Charlie Hebdo ini? Perlu diketahui, bahwa Charlie Hebdo adalah koran yang merepresentasikan supremacism dimana beritanya banyak menyebarkan satir dan hinaan yang berbau xenophobic, religion phobic, sexist dan homophobic. Berbagai kartun sarkas dan tak senonoh digambar disana. Tak hanya gambar Nabi Muhammad, tapi juga Sri Paus yang membuka kondom, atau proses persalinan Bunda Maria melahirkan Jesus. Ada juga pelecehan terhadap simbol trinitas dalam Katolik yang digambarkan dimana 3 simbol tersebut melakukan hubungan badan sesama jenis dan juga gambar sarkas yang lainnya. Majalah ini pun sudah berulang kali diperkarakan di pengadilan oleh Vatikan.

Nyaris seluruh media massa di Eropa bahkan beberapa rekan menganggap bahwa penyerangan Charlie Hebdo adalah penyerangan terhadap kebebasan berekpresi. Apapun yang dilakukan Charlie Hebdo dianggap tidak menyalahi hukum dan aturan negara lokal. Tapi kemudian saya menjadi gusar, adakah merisak (bullying) terhadap orang dengan keyakinan yang berbeda adalah jauh lebih mulia dibandingkan pembunuhan.

Tak ada yang tak setuju bahwa bahwa pembunuhan adalah keji dan terkutuk. Kita semua mengutuknya. Namun, bayangkan Anda punya tetangga yang berbeda kepercayaan, yang setiap hari merendahkan, merongrong, mengejek dan menghina apa yang Anda percayai sepenuh hati. Apakah tindakan tetangga Anda itu bisa Anda katakan beradab dan tak melanggar ketentraman sosial.

Anda pastinya punya kematangan spiritual yang hebat jika Anda mampu menghadapi cobaan bullying dengan kesabaran dan tak membalas. Dan itu pastinya sesuai tuntunan agama Anda. Namun tak semua orang beragama punya kualitas spiritualitas semacam itu. Orang-orang beragama dengan kematangan spiritualitas rendah, yang tak berkesabaran tinggi, terjebak dalam tafsiran tekstual, seringkali terprovokasi melakukan aksi balas dendam baik secara verbal ataupun dengan tindakan agresif lainnya, yang sekali lagi tentunya juga tak bisa dibenarkan dalam ajaran agamanya, apapun agamanya.

Tak hanya sebagian pemeluk Islam yang seringkali disalahkan terjebak dalam ketidaksabaran dan dendam, organisasi semacam IRA yang Katolik atau pemeluk Buddha di Myanmar pun pernah terjebak dalam provokasi, gerakan Yahudi Zionis dan Kahanis melakukannya karena ego nasionalisme dan fanatisme, di India pun aksi kekerasan orang Hindu terhadap agama minoritas berulangkali terjadi. Walau saya tetap yakin, tak ada satupun dari agama tersebut yang tak mengajarkan pentingnya bersabar dan tidak membunuh. Agama mengajarkan kesabaran, namun pengikut berspiritualitas rendah yang kemudian terjebak dalam ego identitas dan dendam.

Apapun, bagi saya, cukup menyedihkan ketika menjadikan para satiris tersebut sebagai pahlawan kebebasan berekspresi. Bahwa seakan segala satir yang menghina identitas tertentu adalah kebebasan yang diperbolehkan dan dilindungi secara hukum karena tidak merugikan nyawa orang lain. Kebebasan berekspresi ini juga seakan bisa dilakukan dengan apa saja tanpa mempedulikan ada pihak yang secara SENGAJA diganggu ketentraman dan ketenangan psikologisnya. Ini logika sederhana saja karena saya bukan orang hukum. Bukankah jika Aturan hukum dibuat untuk melindungi hak masyarakat, maka seharusnya hukum atas kebebasan berekpresi itu juga dibuat untuk menjamin hak hidup masyarakat menjadi lebih tentram dan tidak barbar bahkan secara verbal. Saat ini kritik terhadap kebebasan berekpresi apapun efeknya dianggap kritik terhadap demokrasi. Jika seperti ini, lantas siapakah yang sebenarnya bigot dan fanatik?

Semakin sedih pula, ketika di Twitter dan Facebook kemudian beberapa aktivis yang katanya percaya dengan humanisme memasang berbagai macam  gambar dan statement yang melecehkan identitas agama tertentu, yang apapun pengikut agama tersebut adalah manusia juga seperti kita. Seakan-akan itu adalah balasan yang benar dan boleh dilakukan untuk mengejek terorisme. Kematian 10 orang jurnalis, ditambah dukungan tagar “Je suis charlie” seakan membuat orang mendukung dan berada di belakang majalah yang terkenal sangat sarkas terhadap masyarakat marginal, penuh dengan isu xenophobic, rasis, homophobic, dan religion phobic.

Lantas manakah yang lebih salah, provokator satir ataukah pendendam yang merasa egonya diinjak? Manakah yang lebih mulia orang yang berteriak-teriak bahwa apa yang dicintai orang lain dianggap hina ataukah pembunuh yang mendendam? Kematian para satiris didukung dengan solidaritas kebanyakan orang diseluruh dunia ini, tak berarti membuat apa yang pernah dibuat oleh Charlie Hebdo menjadi suci dan tak tercela. Hal-hal satir yang mereka lakukan tetaplah buruk dan keji.

Saya hidup nyaris 6 tahun di rantau. Saya tahu rasanya menjadi yang paling minor. Saya tahu rasanya dikeroyok dan dipukuli oleh 5 orang karena saya yang dianggap “berbeda”. Andai saja saya tinggal di Prancis, maka saya pun juga adalah warga yang juga kena sindir kartun Charles Hebdo, karena saya adalah imigran berkulit berwarna.

Tapi tak hanya di luar negeri, di tanah air sendiri, pikiran dan apa yang saya yakini pun bukan berarti dianggap populer, dengan kata lain bisa jadi saya bukan masuk dalam kategori golongan mayoritas di tempat saya dilahirkan. Yang artinya, saya tahu benar rasanya menjadi minoritas baik di rantau ataupun di tanah air.

Saya menentang segala jenis phobia terhadap kelompok apapun, baik terhadap golongan Syiah, Ahmadiyah, ataupun masyarakat minoritas lain, bahkan saya menentang sikap sexism dan homophobic pada masyarakat saya sendiri. Saya juga tak setuju terhadap overgeneralisasi terhadap orang yahudi yang kebanyakan menjadi prejudice beberapa golongan di tanah air, karena saya mengenal beberapa dari mereka dan jauh dari stereotype penjahat. Namun, saya juga bukan orang yang sependapat ketika ada sekelompok masyarakat, politisi dan pemimpin negeri ini yang menghina dan merisak (membully) beberapa organisasi keagamaan tertentu yang distigmakan pembuat onar, tidak toleran, dan radikal di negeri ini.

Yang saya kritisi adalah phobia. Dan ini tak berlaku double standard pada golongan tertentu. Phobia adalah ketakutan yang berlebihan dan irasional terhadal obyek tertentu. Phobia itu tak hanya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, tetap juga bisa dilakukan oleh minoritas terhadap mayoritas. Artinya, walau saya memahami bagaimana rasanya menjadi minoritas, tetapi saya juga tak bersimpati dengan para minoritas yang lebay mendramatisir keminoritasannya.

Tak ada manusia di dunia ini yang ingin dibenci, mereka semua ingin dimengerti dan dipahami. Mengerti dan memahami tak harus meyakini apa yang orang lain yakini. Menentang phobia pada golongan tertentu bukan berarti saya mendukung dan mengikuti kepercayaan, ajaran-ajaran, ataupun perilaku yang ditulis di atas.

Bahkan perkembangan media massa di negeri sendiri pun seringkali membuat saya prihatin. Angle media kadang dibuat sedemikian rupa untuk menghujat golongan tertentu yang dianggap bodoh. Pejabat pemerintah, menteri dan politisi, -apalagi di saat pilpres- dibuat untuk berkomentar satir dam sarkas pula. Hal ini kemudian semakin diperparah, ketika rekan-rekan di jejaring Facebook, sampai hari ini masih terjebak saling sindir dan hina antara golongan itu dan ini. Apakah Anda berpikir dengan mengejek mereka yang berbeda dengan cara sarkas dan satir, itu akan membuat mereka yang berbeda menjadi percaya dengan apa yang Anda yakini? Tidak. Mereka akan semakin resisten dengan apa yang Anda yakini. Kebencian dan hinaan Anda akan semakin membangunkan energi dan kekuatan mereka untuk melawan Anda.

Menunjukkan kebencian  hanya akan menghasilkan kebencian lain yang berlipat yang siklusnya tidak pernah usai. Membunuh satu orang akan menghasilkan 10 orang dengan dendam yang bersiap untuk balas membunuh, dan begitu seterusnya.

Balik soal Charlie. Membunuh itu kejam dan harus dikecam, tapi merisak itu tak kalah keji.

 

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*