Articles

Belajar Sosialisme dari Denmark

Hari pertama kedatangan saya di Kopenhagen membuat jidat saya berkerut dengan harga transport dan makanan. Saya masih tidak habis pikir, salah satu negara yang dianggap penduduknya punya tingkat kebahagiaan tertinggi ini ternyata biaya hidupnya juga selangit. Bila biasanya di Warsawa tiket satu jam untuk transportasi umum hanya butuh uang sekitar 3 zloty (0,75 euro) per jam maka di Kopenhagen harga menjadi lebih 4 kali lipatnya, yaitu sekitar 24 Kronn atau sekitar 3,21 euro untuk 2 zona. Bahkan dengan uang sebesar 20 kronn atau 2,5 euro maka saya pun hanya bisa makan hot dog kecil yang dijual di pinggir-pinggir jalan. Walau harga disini masih lebih murah dibandingkan di Zurich, namun harga-harga di Kopenhagen membuat saya harus mengelus perut bila lapar datang, karena tentu saja 2,5 euro hot dog itu jauh dari mengenyangkan.

 

Beruntungnya adalah karena selama tinggal 5 hari di Kopenhagen, saya ditampung oleh keluarga Larsen. Jasper Larsen sendiri adalah musisi jazz profesional di Denmark. Ia pemain klarinet di Dog Houlind All Stars dan sudah lebih dari 20 tahun malang melintang di blantika musik jazz di Eropa. Istrinya adalah orang Indonesia berdarah batak, Mariani Sidabutar Larsen.

 

Sebelum saya datang ke Kopenhagen, saya tidak mengenal keluarga tersebut. Perkenalan saya adalah dari rekomendasi teman. Mariani Larsen yang kemudian bersedia untuk memberikan tumpangan selama saya mengikuti short course di Copenhagen. Kebaikan keluarga Larsen tidak berhenti disitu saja, setiap hari sekotak makan siang disiapkan sebagai bekal saya selama mengikuti kursus singkat di Dannish Technical University.

 

Saya baru tahu profesi Jasper Larsen ketika saya datang disana. Sederhana saja, semua diawali dari klarinet yang dimodifikasi menjadi lampu dinding. Frekuensi obrolan kemudian menjadi intens ke soal musik jazz hingga ke urusan politik, ekonomi, dan sosialisme di Denmark. Dan tentu saja apa yang dia katakan bukanlah omong kosong. Selama 5 hari saya disana, beberapa kali saya dibuat kagum oleh masyarakatnya. Dari perjalanan singkat saya tersebut, ada 5 hal yang begitu mengesankan, yaitu kerelaan membayar pajak, perhatian pemerintah terhadap sektor publik, keamanan, kesetaraan gender, dan mentalitas menolong.

 

Orang Denmark begitu bangga dengan sistem pemerintahannya yang begitu memperhatikan urusan publik. Bukan hanya urusan tempat tinggal yang jadi perhatian pemerintah, dimana pemerintah lokal memang berkewajiban untuk mencarikan tempat tinggal bagi semua warganya, terutama untuk warga dengan penghasilan terbatas.  Bahkan urusan libur-pun juga menjadi perhatian pemerintah yang memberikan 6 minggu liburan kepada pekerja. Mereka mempercayai bahwa kerja itu untuk hidup dan bukan hidup untuk kerja. Dan benar, data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa masyarakat Denmark mempunyai derajad keseimbangan yang tinggi antara pekerjaan dan kehidupan personal. Rerata masyarakatnya hanya menghabiskan 31 persen harinya untuk pekerjaan dan 69 persen untuk kehidupan personal. Waktu senggang dianggap sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental mereka.

 

Kita bisa jadi bingung meraba-raba bagaimana berempati dengan perasaan mereka terkait pembayaran pajak. Mereka rela dan bahagia jika gajinya dipotong dengan pajak tinggi. Tentunya bila urusan pajak tinggi diterapkan di negara yang lain, yang ada masyarakatnya bisa jadi akan mengeluh dan terjadi demonstrasi besar-besaran.

Pemerintah memang tidak tanggung-tanggung memotong penghasilan orang-orang denmark. Pajak 36 persen sampai 51 persen bakal dikenakan dari pendapatan pribadi orang-orang denmark. Hanya orang-orang yang berpenghasilan rendah dibawah 7000 euro per tahun yang bebas pajak. Namun mereka percaya bahwa pemotongan penghasilan akan kembali ke mereka juga, melalui pelayanan kesehatan, pendidikan gratis, pensiun serta berbagai jaminan sosial yang lain.  Contoh saja, bahkan untuk penderita diabetes, mereka mendapatkan diskon membeli insulin sebesar 50 sampai 85 persen dari pemerintah, begitu juga dengan obat-obat lainnya. Seorang kawan yang menderita diabetes dan tiap hari harus suntik insulin menceritakan pengalamannya bahwa pembelian pertama insulin tidak akan diberikan diskon oleh pemerintah, namun untuk pembelian kedua, ketiga, dan keempat, maka diskon besar dan beruntun akan diberikan oleh pemerintah.

 

Anak-anak hingga usia 18 tahun juga mendapatkan jaminan sosial besar. Uang sebesar 17.064 Kronn (2280 euro) pertahun akan diberikan pemerintah untuk anak sampai usianya 3 tahun, 13.500 kronn (1810 euro) per tahun untuk anak yang berusia 3 hingga 6 tahun dan 10.632 Kronn (1425 euro) per tahun untuk anak yang berusia 7 hingga 17 tahun. Bahkan Job seeker juga mendapatkan bantuan dari pemerintah maksimal selama dua tahun sebelum mereka kemudian benar-benar stabil dengan kehidupannya.

 

Bukan isapan jempol jika memang mereka hidup bahagia dengan memberi. Jasper beberapa kali mengatakan bahwa yang terpenting adalah bahwa bagaimana hal tersebut akan kembali ke masyarakat dan untuk menolong masyarakat.  Survey yang juga saya baca dari OECD juga menunjukaan bahwa masyarakat Denmark dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai derajat kepercayaan yang tinggi terhadap orang lain yang juga diikuti dengan perasaan kolektivitas yang tinggi.

 

Soal derajat kepercayaan yang tinggi itupun terlihat dari parkir sepeda di segala penjuru di kota. Seorang peserta short course dari Inggris dan Prancis bahkan sampai beberapa kali mengambil foto sepeda yang berjejer di pinggir jalan. Tak ada satupun sepeda yang digembok. Seorang kenalan saya dari Bristol, kemudian menunjukkan satu foto ban sepeda yang terkunci di London, namun tidak ada rangkanya lagi. Dia menceritakan itu adalah foto sepeda kawannya yang dicuri rangkanya padahal ban sepedanya sudah di kunci. Sepeda memang transportasi favorit bagi warga Kopenhagen. Tidak heran bila kota ini dijuluki sebagai city of cyclist. Di semua ruas jalan di Copenhagen termasuk di pusat kota selalu ada lini terpisah untuk sepeda. Pemerintah lokal pun selalu memberikan fasilitas terbaik bagi para pengguna sepeda di Kopenhagen.

 

Saya menanyakan kepada Jasper, kenapa orang Denmark tak mengunci sepedanya ketika diparkir, apakah tidak ada pencuri di Denmark. Dengan senyum ringan Jasper menjawab, “ah iya ya… bisa dicuri. Tapi saya selalu lupa menguncinya,” Betapa entengnya ia menjawab lupa namun juga tidak segera bergerak mengunci.

 

Memang nyaris di setiap negara  Uni Eropa dipasang kamera pengintai di sudut sudut kota, namun mereka tetap lebih memilih tindakan antisipatif untuk mengunci sepedanya. Tapi hal ini tidak berlaku bagi sebagian masyarakat Denmark. Rasa aman membuat mereka menganggap mengunci sepeda bukanlah prioritas. Secara implisit ini menunjukkan bagaimana mereka merasa aman dengan apa yang dimilikinya di Denmark.

 

Bukan bualan pula jika Denmark dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Apa yang saya alami ketika saya ditampung di keluarga Larsen mungkin adalah contoh kecil bagaimana persamaan gender sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat disana. Singkatnya, perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama dalam urusan rumah tangga. Urusan dapur bukan hanya berlaku bagi perempuan tetapi juga menjadi tanggung jawab laki-laki. Adalah hal yang lumrah di Denmark untuk suami kebagian jatah harian untuk memasak di dapur.

 

Kejadian yang juga membuat saya kagum adalah ketika saya tak sengaja melihat seorang kakek tua gelandangan berpakaian lusuh di atas kursi roda. Kursi rodanya tiba-tiba terbalik ketika melintasi jalanan trotoar menurun. Semua isi tas plastiknya yang berisi kaleng-kaleng bekas berhamburan keluar. Ada dua orang gadis muda yang cantik dan langsing, berambut pirang, berkaca mata hitam dan berpakaian modis berada di dekat kejadian tersebut. Dua orang gadis muda itu sigap menolong kakek tua lusuh untuk duduk lagi di kursi rodanya. Mereka pun juga memunguti kaleng kaleng yang berjatuhan ke plastiknya. Kakek tua itu terus menyumpah-nyumpah dan berteriak-teriak. Gadis-gadis tersebut hanya diam dan segera meninggalkan kakek tua tadi setelah mereka menolong kakek itu kembali ke kursi rodanya dan membereskan kaleng-kaleng yang berjatuhan.  Saya tersentuh. Bisa jadi gadis-gadis muda cantik itu sudah mengesampingkan wangi parfumnya ketika mereka memutuskan untuk membantu gelandangan tersebut.

 

Dan selama saya berjalan di Kopenhagen, dia adalah satu-satunya gelandangan yang saya lihat. Pemerintah sebenarnya telah memberikan jaminan hidup bagi semua masyarakatnya, bahkan para gelandangan-pun mendapatkan jaminan sosial serupa. Masyarakat kebanyakan percaya bahwa menjadi gelandangan di Kopenhagen adalah pilihan hidup dan dianggap sebagai orang yang sakit secara mental.

 

Jasperpun berkali-kali menekankan, “ini sosialisme dan bukan komunisme. Sosialisme itu terkait dengan bagaimana kita membantu orang lain, memberikan jaminan hidup kepada orang banyak tapi sekaligus tetap menguatkan daya beli dan melindungi hak asasi kita sebagai manusia.”

 

*Tulisan ini pernah dimuat di Koran SINDO Jatim, 13 Juni 2013.*

 

8 Comments

Leave a Reply to ardinov Cancel

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*