Articles

Martir

Dunia ini tua karena penuh prasangka. Mata dan isi kognitif manusia sudah terlalu banyak disiram dogma, sehingga lupa bagaimana mengenali manusia lain. Kata Erich Fromm, “Kemanusiaan manusialah yang membuat manusia sangat tidak manusiawi… dengan isi kepalanya, ia tak pernah mengganggap manusia lain yang jauh dari medan hidupnya adalah saudaranya”. Ia tak banyak mengenali objek di dunia dengan naluri dan hatinya. Sebaliknya, ia mengenalinya dengan kepala dan dominasi kognitifnya, sehingga semua yang berbeda dianggap bukan dari spesiesnya. Sebelum dogma-dogma fanatik itu meracuni kognitif kita, kita semua masih sama yaitu manusia, seperti apapun kita.

Namun begitu, masih ada martir yang berbicara dengan suara hatinya, apapun iman yang dianutnya. Riyanto yang Muslim yang meninggal 16 tahun lalu karena menyelamatkan jemaat gereja dari aksi teror di Mojokerto. Rachel Corry yang yahudi dan meninggal karena menentang perluasan pemukiman Israel. Ada pula cerita soal Ali Hussein Khadim, penganut syiah yang ditangkap ISIS, namun diselamatkan oleh beberapa orang Sunni. Atau Gandhi yang dibunuh oleh bigot dari agama dan bangsanya sendiri karena kepercayaannya terhadap perdamaian Hindu-Islam. Bila direntet pasti banyak martir yang tegak berdiri untuk manusia lain melampaui batas-batas SARA.

Kemarin ada seorang penjaga toko di Scotland, Asah Shad, dibunuh karena prasangka dan bigotry. Disaat yang bersangkutan sendiri mengenali cinta kepada sesama, siapapun juga, adalah perwujudan dari imannya. Masih kemarin ia mengucapkan selamat paskah kepada mereka yang merayakan. Ia muslim dan menyebarkan keindahan, namun ia meninggal karena prasangka. Inilah sejatinya martir, ketika ia dibunuh di tengah kebencian, ia seakan masih meninggalkan pesan untuk memanusiakan semua makhluk.

Perbedaan adalah alamiah, namun menantang mereka yang berbeda dengan berbagai dogma dan logika di kepala hanya akan menjauhkan manusia dari naluri dan nuraninya. Hanya dengan nurani kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang lain. Musuh besar peradaban adalah bigotry dan prasangka, dimana saja, apapun bentuknya, oleh siapapun juga.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*