Articles

Harambe, Kolonialisme, dan Logika Superman

Baca berita soal Harambe itu memang tragis. Ingat kejadian 9-10 tahun lalu, tiba-tiba ular sawah masuk ke kamar mandi kos-kosanan kami. Ular sawah yang tidak berbisa itu kami bunuh ramai-ramai. Saya pun ikut terlibat dalam aksi pengeroyokan itu. Belum puas sampai disana, mayatnya pun kami bakar. Saat itu hanya ada panik, tidak peduli itu ular berbisa atau tidak, pokoknya ular selalu mengerikan, oleh karenanya harus dibunuh. Saat ini, itu adalah satu dari kejadian buruk yang saya sesali. Bila makhluk bernyawa non manusia tersesat pastinya tak ingin tersesat ke tempatnya manusia, karena besar kemungkinan nasibnya akan mati atau dikerangkeng.

Saya sendiri tidak mau berdebat apakah Harambe harus dibunuh atau tidak, atau mana yang lebih penting nyawa hewan ataukah manusia. Terlepas dari pandangan para ahli perilaku hewan, Harambe tidak punya maksud untuk membunuh atau berbuat sesuatu yang berbahaya untuk si anak. Ini tulisan bukan untuk berdebat soal itu, ini tulisan adalah bahan merenung untuk saya sendiri.

Populasi manusia sudah sampai 7 milyar, kitalah yang banyak mengganggu habitat hewan, dibandingkan mereka yang mengganggu habitat kita. Di Amazon bahkan 70 persen dari deforestasi hutan adalah untuk ternak, yang ujungnya selalu mengusir hewan liar dari habitatnya. Di Kalimantan, Sumatra, dan Papua, kita pula yang membakar hutan untuk selanjutnya kita tanami sawit. Jika ada hewan liar penghuni hutan nyasar di perkampungan atau cari makan di perkebunan penduduk, maka alamat hewan itu akan dibunuh ramai-ramai. Banyak berita soal orangutan yang terbakar, dibakar, atau ditembak karena nyasar dan sudah tak punya habitat hidup lagi. Tak hanya orangutan, gajahpun sama. Kita anggap mereka ancaman, padahal siapa sebenarnya yang mengusir mereka dari habitat dan rumahnya? Belum termasuk dengan derita mereka yang ditangkap lalu dimasukkan ke sirkus. Gajah afrika macam Tyke hanya satu contoh dari banyak contoh penyiksaan. Ia kenyang disiksa dan ditusuk kulitnya selama latihan. Satu saat dia lari dari circus mencari kebebasannya, namun karena pelariannya untuk kemerdekaannya sendiri dianggap mengancam manusia lain, membuat dia harus dieksekusi mati dengan 86 tembakan. Bila dideret masih banyak sekali hewan-hewan yang sengaja dipisah dari habitatnya dan disiksa hanya untuk kepentingan manusia berhahahihi.

Barangkali kitalah spesies terbengis dengan sifat destruktif kolonial dan rakus yang tidak ada habisnya, yang kerap saking rakusnya hanya mengenal dirinya sebagai spesies terhebat karena akal budinya. Klaim itu yang membuat kita berhak untuk menghabisi mereka diluar spesies kita. Klaim sebagai makhluk berakal tinggi dan berbudi ini kerap menghantui pikiran saya. Benarkah?

1,02 miliar orang kelaparan. Per 5 detik,1 org mati karena lapar. Di US 90% dari semua kedelai, 80% dari semua jagung & 70% dari semua biji-bijian dipakai untuk menggemukkan hewan ternak yang besar dari deforestasi hutan. Satu sisi jumlah yang sama dapat dipakai utk memberi makan 800 juta orang (baca Gellatley & Hardle, The Silent Ark). Kita bakar hutan untuk ternak, ternak kita beri makan dari biji-bijian – selain dengan diberi suntikan hormon untuk mempercepat pertumbuhan atau disiksa dengan digelonggong air – , lalu hewan ternak yang sudah punya nilai berkali-kali lipat dari sekedar biji-bijian kita jagal. Adakah harga hewan ternak tadi masih dapat dijangkau oleh orang yang perutnya lapar? Satu sisi biji-bijian untuk ternak tadi dari segi harga cukup untuk memberi makan ratusan juta orang yang kelaparan. Ini belum termasuk dengan data bahwa ada 3 miliar orang kekurangan air, sementara kita boros 3,8 triliun ton air bersih setiap tahun hanya utk produksi ternak. 10 sistem sungai terbesar di dunia sedang sekarat atau menyusut. 1,1 miliar orang tidak dapat air yang aman utk diminum (Baca laporan Global Humanitarian Forum, The anatomy of Silent Crisis). Kita mencari makan dengan membuat industri ternak supermasif dengan merusak alam, membunuhi hewan liar yang ada di dalamnya, tapi tetap faktanya 1 miliar alias 1/6 populasi bumi kelaparan, dan 2 miliar orang menderita gizi buruk. Logika cerdas industrialis livestock ini saya tak sampai kecuali hanya dapat logika rakusnya. Sudah merusak tempat hidupnya sendiri, dan membunuhi hewan yang lain (baik liar ataupun ternak yang sudah tidak dibesarkan dengan cara yang alamiah) dengan dalih untuk makan, tapi separuh orang dibumi ini tetap tak bisa makan dan minum dengan layak.

Klaim bahwa manusia sebagai makhluk tertinggi ini lebih banyak membuat bencana dibandingkan manfaat. Tak ada yang berarti bagi manusia selain sifatnya yang egosentris, oleh karenanya diluar dari egonya, maka tidak ada yang berarti. Alam itu diciptakan untuk dirinya maka bisa diperlakukan seperti apapun. Hewan-hewan disekeliling manusia itu untuk dirinya dan karenanya hidupnya pun tak punya arti. Sah bila mereka dijadikan tontonan atau disiksa. Tidak ada ceritanya manusia itu kejam terhadap hewan, karena hewan-hewan itu memang untuknya. Yang ada adalah hewan yang bisa kejam terhadap manusia. Tak ada cerita manusia yang mengancam alam atau hewan, terlepas kita yang menjarah kehidupan mereka –bahkan sebenarnya merampok kehidupan kita sendiri.

Ah… sudahlah jangankan terhadap Harambe atau spesies lain, bahkan dengan spesiesnya sendiri, manusia sudah terbiasa saling bunuh dengan alasan apapun.

Btw, ini bukan kampanye soal vegan atau vegetarian. Ini cuma random feeling di tengah malam. Bila boleh saran ketika berdoa sebelum makan –baik itu pemakan daging atau vegan-vegetarian, alangkah indah jika doa itu tak hanya rasa syukur atas rejeki yang sudah ada di atas nampan, tapi juga untuk keberkahan setiap nyawa, tetes keringat, dan pengorbanan yang membuat makanan anda terhidang.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*