Ada satu catatan ketika saya di tag dan diajak berdiskusi oleh kawan di laman Facebooknya yang menyesalkan sikap saya yang seolah-olah cenderung dianggap mendukung orang-orang LGBT. Begitu juga dengan pendapat kawan saya yang menggangap bahwa social scientist itu cuma sekedar “pendukung pseudosaintifistik” atas trend sosial. Ia secara tak langsung mengkritisi soal background saya yang gandrung dengan fenomenologi, ilmu kritis, dan psikologi sehingga membuat saya lupa dengan nurani. Tak perlu saya menuliskan diskusi dan perdebatan dalam laman Facebooknya secara keseluruhan, tapi dalam perdebatan itu saya menyampaikan 3 post ini. Untuk selanjutnya saya tidak mau berdebat panjang. Cukuplah kemudian khalayak memahami bagaimana posisi saya. Satu hal yang ingin saya tekankan, sikap ANTI terhadap homophobic tidaklah berarti pro terhadap homoseksualitas. Sebagaimana sikap orang yang tidak setuju dengan agama lain, bukan berarti dia harus phobia dengan orang yang beragama lain.
13 Mei 2014, 11.50 WIB
Berhubung saya diundang, maka pastinya saya diharapkan untuk membaca ini dan berkomentar. Okey saya akan berkomentar 🙂
Tidak usah marah-marah dan memberikan judgement ber-Tuhan atau tidak atau mencla-mencle atau tidak. Tapi seandainya melabel tidak Bertuhan dan mencla-mencle ya tidak apa-apa, sah saja. Pendapat saya soal homoseksualitas lebih bukan berdasar argumentasi ilmiah tapi lebih kepada bagaimana pengenalan saya secara personal terhadap orang orang yang memang punya orientasi berbeda.
Bila saya pada waktu itu menyebutkan argumentasi ilmiah, dikarenakan saya sempat ditantang menyebutkan argumentasi ilmiah oleh rekan saya yang menganggap itu tidak alamiah dan perlu diberantas.
Pengalaman saya didiskriminasi sebagai seseorang yang punya warna kulit berbeda dan juga punya agama yang berbeda juga memperteguh sikap saya, bahwa diskriminasi mayoritas terhadap minoritas itu seharusnya tidak dilakukan oleh siapapun selama tidak mengganggu hak orang lain.
Jangan bandingkan kasus kriminal dengan kecenderungan pedofil atau homoseksual. Orang homoseksual adalah salah jika ia punya kasus kriminal dan melanggar hak orang lain. Orang pedofil salah jika dia punya kasus kriminal. Pedofil salah karena terjadi pemaksaan kehendak terhadap orang dibawah umur. Orang homoseksual salah jika terjadi pemaksaan secara seksual terhadap orang orang yang bukan homoseksual. Orang NORMAL-pun salah jika MEMAKSA melakukan HUBUNGAN SEKSUAL pada orang orang yang tidak mau melakukan hubungan itu terhadap dirinya.
Jangan juga kemudian berkesimpulan bahwa ada orang siapapun bebas dari dosa seperti yang anda tuliskan. Orang normal dan juga orang yang bukan berada dalam distribusi normal tidak ada yang bebas salah. Tidak ada yang berkesimpulan bahwa orang homoseksual adalah orang yang bebas dari dosa/salah.
Bila ada orang yang memang salah menurut persepsi mayoritas, maka bagi saya itu bisa jadi benar dalam level keyakinan. Cukup yakin saja, lalu saya doakan orang yang saya anggap salah, tak usah melakukan tindakan seperti orang yang saya anggap salah tadi, dan terus menyebarkan perdamaian terhadap semua orang. Namun jika ini terwujud dalam perilaku misalnya saya yang mendiskriminasi, membakar, memukuli orang yang berbeda maka saya yang menjadi salah. Apa hak saya memaksa orang berpikir sama dengan saya. Saya tidak berhak untuk mengadili orang yang saya sendiri tidak tahu seperti apa.
Tidak percaya dengan psikologi juga tidak apa-apa. Namun ada baiknya Anda tidak menyamakan antara psikologi = psikotes. Itu jauh berbeda.
Menyalahkan orang yang percaya fenomenologi tidak apa-apa juga, tapi perbandingan Anda dengan sudut pandang antropologistik – materialistik justru tidak koheren. Dalam pandangan idealisme yang menjadi dasar fenomenologi, pengetahuan manusia tidak pernah bisa mencapai noumena. Noumena itu hanya bisa diolah menurut sensasi perseptual subyektif yang diolah rasio yang juga lagi-lagi subyektif. Sementara apa yang benar-benar terjadi pada obyek yang kita nilai, kita tidak pernah bisa mencapainya. Ini yang disebut Das Ding An Sich. Kita tidak pernah benar benar tahu bagaimana menjadi obyek yang kita nilai.
Sehingga bila Anda ingin mengaitkan dengan pandangan psikologi, fenomenologi, dan juga mazhab kritis ada baiknya membaca lagi pemikiran dan mazhab yang bersangkutan dan membandingkannya dengan logika yang koheren. Mazhab kritis berbicara soal dominasi kekuasaan dan masyarakat yang teknokratis, saya bingung kalau Anda mengatakan,”harusnya kritis soal mazhabnya sendiri”. Mazhab Kritis yang Anda maksudkan itu yang seperti apa. Bila Mazhab kritis yg dimaksudkan adalah Frankfurt School maka mazhab itu juga berbicara soal pandangan kritis terhadap dirinya sendiri. Basis dari mazhab kritis adalah pandangan sosialisme. Ia mengkritik kapitalisme lanjut, tapi ia sendiri juga mengkritik sosialisme. Bingung lagi ketika saya dihubungkan dengan wahabi.
Posisi saya terhadap mereka yang berbeda dengan saya adalah dikarenakan pengalaman personal, Saya punya teman yang homoseksual. Saya mencoba menyelami dan mendengarkan apa yang mereka alami.
Bila saya dianggap tidak beriman terhadap ajaran apapun. Tidak apa-apa. Saya juga tak menerapkan standar ganda. Saya sampaikan kepada Anda, bahwa saya tak perlu berpura-pura jika Iman kita memang berbeda. Saya dianggap tidak percaya terhadap Tuhan juga tidak apa-apa. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang tahu apa isi hati saya, bagaimana kepercayaan saya dll. Orang lain hanya bisa menilai saya melalui fenomena (persepsi dari sensasi subyektif dan diolah oleh rasionya) tetap mereka tidak pernah benar-benar tahu noumena saya.
Semoga semua makhluk hidup bebas dari sumber-sumber penderitaan dan permusuhan.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Salam 🙂
——
13 Mei 2014. 14.22
sikap ANTI terhadap homophobic tidaklah berarti ybs pro terhadap homoseksualitas. Sikap orang yang tidak setuju dengan agama lain, bukan berarti dia harus phobia dengan orang yang beragama lain. Membantu mencerahkan orang lain itu perseptual. Memaksa itu yang bermasalah. Damai sekali di dunia ini, jika setiap orang yang berbeda saling mendoakan agar ybs sama sama tercerahkan dalam perspektifnya masing-masing
—–
Selanjutnya rekan saya menuliskan soal posisi saya yang pengajar, yang punya pengaruh terhadap sejawat dan mahasiswa-mahasiswa saya, yang bisa jadi berbahaya dan diikuti oleh orang banyak. Bahwa kontra gay adalah isu untuk menyelamatkan manusia dan peradaban yang semakin menyimpang. Dan selanjutnya adalah statement dimana saya mestinya harus kritis terhadap empati dan niat baik, karena itu bisa saja lahir dari hawa nafsu yang termakan oleh paham liberalis-anarkis.
—–
13 Mei 2014. 18.06
Begini. Apa yang saya sampaikan adalah apa yang saya imani. Saya tidak memaksa orang untuk percaya dengan apa yang saya yakini. Saya bukanlah dosen yang bebas dari nilai. Saya selalu mempunyai nilai. Nilai yang saya yakini adalah perdamaian bisa ada, jika tidak ada orang yang memaksakan kehendaknya atas kebenaran yang diyakini. Kebenaran eksis, namun tidak untuk dipaksakan kepada orang lain. Posisi saya yang dosen memungkinkan saya untuk menyampaikan apa yang yang saya yakini. Dan saya merasa bersyukur dengan itu.
Saya hidup di eropa, tapi pikiran saya yang seperti itu bukan karena virus kebebasan eropa sebagaimana halnya di Belanda atau Prancis yang super bebas. Saya hidup di Rusia yang penuh diskriminasi dan juga hidup di Polandia yang sangat fanatic dengan agama, homogen, dan homophobic. Saya lelah dengan diskriminasi baik itu diskriminasi agama, warna kulit dan orientasi seksual.
Ketika saya hidup di Rusia, saya berteman dengan seseorang yang banyak membantu saya. Setelah setahun, ybs mengakui dirinya gay. Ybs tidak pernah “menembak” saya, sebagaimana dialami Anda. Dan ybs tahu bahwa saya adalah heteroseksual dan tak pernah memaksa saya menjadi homoseksual. Ada sebuah masa di Rusia, ketika Putin dan gereja ortodoks menerapkan hukum tertulis yang menentang keberadaan gay. Dampaknya, orang orang gay dipukuli di Rusia bahkan beberapa dari mereka dipancing lewat sosial media dengan berbagai cara dengan “merayu” agar keluar dari persembunyiannya. Setelah mereka terpancing dan keluar, mereka dibully, beberapa disiksa dan dilempari air kencing, dan dianggap pendosa. Seakan-akan orang yang gay tadi tidak punya kualitas personal untuk bisa berbuat baik dan bermanfaat sebagaimana orang kebanyakan. Orang gay dan orang seperti apapun tidak berarti dijauhi, dikucilkan dengan perasaan jijik. Perasaan jijik ini phobic. Perasaan phobic ini sakit.
Apa yang saya imani tidak semata berasal dari apa yang saya baca, tapi dari apa yang saya rasakan. Dan saya percaya dengan apa yang saya rasakan dan bukan pada apa yang saya pikirkan. Semua orang bisa mengklaim sama. Kebenaran itu ada silahkan dipercaya. Saya juga percaya hal itu, tapi bukan dengan cara mendehumanisasi dan mengklaim bahwa orang lain yang “berbeda” tidak punya kualitas personal untuk bisa berbuat baik juga dengan orang lain. Itulah keyakinan saya.
Memang tidak ada jaminan bahwa kita akan selamat setelah kita hidup. Selamat bukan saya yang menentukan dan itu biarlah menjadi urusan yang Berkehendak. Saya hari ini ingin berbuat yang terbaik saja kepada semesta alam tanpa terkecuali, tanpa terikat institusi apapun, termasuk institusi yang dianggap orang lain sakral, terlepas banyak orang kecewa dan tidak menerima dengan itu. Ini lebih baik daripada saya mengkhianati nurani saya sendiri. Saya ingin menghidupkan hati saya dengan cara saya sendiri, dengan menghidupi setiap hal yang berkesadaran, terlepas itu membuat orang lain tidak nyaman, benci, dan menyumpahi apa yang saya yakini. Yang terpenting saya tidak berniat untuk menyakiti, memaksa, menyiksa, atau membunuh siapapun.
Anda berkata, “mari kita berbicara tidak hanya hari ini, melainkan juga masa depan, keselamatan anak cucu kita, kelangsungan alam lingkungan kita.” Iya itu yang saya lakukan. Saya berusaha menjaganya, dan berusaha menghayatinya sampai dalam taraf terkecil, salah satunya dengan tidak makan hewan. Saya justru lebih khawatir dengan sikap rakus dan tamak daripada orang-orang homoseksual. Paling gampang adalah rakus dan tamak memakan makhluk makhluk bernyawa. Banyak manusia tidak sadar bahwa ketergantungan mereka terhadap daging adalah perusak alam yang paling hebat. Penyebab global warming terbesar bukanlah gas CO dari industri dan kendaraan bermotor , tapi dari ktergantungan kita pada peternakan hewan. Kita hidup dibawah pembantaian atas makhluk lain. Saya tak yakin bila orang yang punya kecenderungan heteroseksual bisa dengan mudah berubah menjadi homoseksual hanya gara gara kampanye orang orang gay. Orang gay -minimal yang saya kenal- tak ingin memakan orang orang heteroseksual. Zombi bagi mereka adalah orang orang normal yang melempari mereka dengan air kencing, mengucilkan, dan mencap mereka sebagai pendosa kelas berat. Orang dengan orientasi heteroseksual di dunia ini sangat banyak. Orientasi seksual itu bagi saya lebih kepada trait dan bukan kepada self-determination. Kelangsungan hidup manusia akan terus terjaga, terlepas ada minoritas yang berbeda orientasi dan trait dengan kita.
Sepertinya posisi kita sudah jelas. Pastinya kita berdua tidak fobia satu sama lain. Tapi ada urusan iman yang berbeda, Iya itu harus kita akui dan tak perlu kita berdebat terlalu panjang lagi. Mari kita hidupi kepercayaan kita masing masing.
One Comment