Memoir

Catatan Pejalan Soliter

Warsawa, 19 Juni 2016, 1.20 AM

“Travel is fatal to prejudice, bigotry, and narrow-mindedness.” – Mark Twain

 

Entah apa pemicunya, namun kenangan 8 tahun lalu itu tiba-tiba hinggap di kepala. Ada kesan yang nostalgic. Ada keharuan, senyuman, dan rasa syukur yang tak terkatakan ketika ia mampir dan bermain-main di benak saya. Memori yang kemudian membuat saya menelusuri jejak, kemana saja saya menapakkan kaki selama 8 tahun ini.

Bukan hal yang mudah untuk merantau di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dimana kompatriot hanya beberapa gelintir saja, apalagi ditambah dengan kemampuan bahasa lokal yang tak mumpuni dan uang yang ngepas. Perasaan takut dan cemas itu masih saya ingat ketika memulai perjalanan jauh 8 tahun lalu ke tempat yang jauhnya 12 ribu kilometer dari Indonesia. Saat itu, saya sadar akan menghadapi situasi yang serba asing, baik itu nilai-nilai yang asing, cuaca yang asing hingga -40 derajad C, orang-orang asing, serta semua cara hidup yang asing.

Kecemasan itu sulit dikontrol, muncul timbul tenggelam, bahkan menghantui saat saya berada dalam pesawat hingga melangkah di pintu imigrasi negara tujuan. Perjalanan pertama itu pun tak bisa dibilang indah di awal, karena saya sempat ditipu di awal kedatangan di bandara negara tujuan. Kasus penipuan itu membuat saya terdampar di KBRI. Di KBRI pun cerita soal rasisme dan banyak situasi yang tidak nyaman dari sesama teman Indonesia di perantauan cukup membuat nyali ciut. Plus kenyataan bahwa dua kolega saya langsung memutuskan untuk balik kanan ke Indonesia pasca mendengar cerita-cerita itu. Kota tempat saya belajar, ketika itu, tak ada orang Indonesia sama sekali. Saya akan jadi orang Indonesia yang tinggal sendiri di sana. Saya akan berangkat naik kereta sendiri di negara asing yang sebagian besar penduduknya hanya mampu untuk bicara dalam bahasa lokalnya saja. Saat itu, saya hanya membawa beberapa helai roti yang ternyata berjamur dan air 500 ml untuk bekal selama di perjalanan kereta trans-siberia selama 26 jam.

Perjalanan jauh dan sendiri adalah salah satu titik paling berpengaruh yang merubah hidup. Keadaan yang memaksa saya untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan diri sendiri agar saya tetap percaya sekaligus mampu menerima apapun yang terjadi. Kedua hal itulah yang membuat saya tak hanya bertahan tapi kuat dalam penerimaan. Belajar menjadi cendekia sesungguhnya tak berarti banyak jika dibandingkan dengan nilai perjalanan itu.

Dalam perantauan dan perjalanan soliter,  saya dicerabut dari segala fasilitas-fasilitas fisik dan kenyamanan psikologis yang sebelumnya saya punyai. Beasiswa saya pun bukan beasiswa yang bergengsi yang memberikan uang berlebih, tapi ia hanya cukup membiayai biaya hidup bulanan dengan sangat sederhana. Perjalanan ke tempat asing dengan segala keterbatasan itu bisa dikatakan adalah pengalaman brutal.

Tapi entah, sejak saat itu, saya menikmati perjalanan soliter. Saya berkelana sendiri ke satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, yang sangat jauh berbeda dari tempat saya hidup. Saya pun pernah mengunjungi negara-negara yang terjerumus dalam prasangka dan konflik yang rakyatnya membenci rakyat dari negara lain. Saya tidur dari bandara satu ke bandara lain, dari terminal satu ke terminal lain, dari hostel murah satu ke hostel murah lain. Dalam tiap perjalanan yang saya pilih dan lalui, saya mau tak mau dibuat untuk mempercayai orang asing. Tak selalu berakhir manis, penipuan dan dikeroyok karena alasan rasisme pun pernah saya lalui. Namun, pengalaman manis ditolong orang asing dan akhirnya bersahabat dengan mereka pun tak terhitung banyaknya, tak sebanding dengan hal buruk yang pernah saya alami. Masih jelas dalam ingatan, saya mengawali perkawanan di rantau 8 tahun lalu dengan keinginan untuk berkawan saja dan bukan dengan kemampuan bahasa. Ada bahasa yang lebih membuat orang mengerti dalam berteman, yaitu niat yang melebihi kecanggihan bertutur dalam bahasa apapun.

Perjalanan itu bukan lagi soal tempat singgah, tapi bagaimana memahami kehidupan.  Bahkan di perjalanan ke tempat yang dianggap burukpun, seorang pejalan belajar untuk menerima dan menikmati apapun keadaan. Perjalanan sendiri itu bukan lagi soal panorama indah dan arsitektur megah, tapi soal mendengar dan menerima diri sekaligus memahami mereka yang sebelumnya kita anggap berbeda. Perjalanan itu mematahkan prasangka, bahwa mereka dengan segala perbedaannya ternyata sama seperti kita. Perjalanan itu membuat sadar bahwa kebaikan itu ada di mana-mana, sebagaimana Tuhan mewujud dalam setiap keindahan ragam dan bentuk. Perjalanan itu membuat kita tak sekedar belajar dari kata si B dan si A, namun langsung dari pengalaman hidup dan perjumpaan.

Sangkar itu sungguhpun terbuat dari emas dan anda berteriak mengaguminya, tetaplah ia sangkar. Keluar, berjalan dan lihat bagaimana perjumpaan langsung dengan semesta dan isinya mampu membuat kita tersenyum merendah bahwa ilmu, pemahaman dan keyakinan yang kita junjung dan teriakkan pun masih sangat tak sebanding dengan kekayaan-Nya.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*