Articles

Trump adalah Kita

Berita terpilihnya Trump tanggal 9 November kemarin sebenarnya tak terlalu mengejutkan buat saya. Bisa dibilang setelah terjadinya Brexit, Juni 2016 sebelumnya, apapun bisa terjadi dan kebangkitan golongan kanan fanatik tak akan menjadi kejutan lagi. Sebelumnya bahkan kelompok kanan mentok bisa meraih kekuasaan di Polandia (Law and Justice dengan Kaczinski-nya), Hungaria (Viktor Orban), Brazil (Michel Temer). Di Austria bahkan kelompok kanan anti imigran nyaris memenangkan pemilihan presiden, dimana Norbert Hover hanya kalah tipis dengan Alexander Van Bellen. Bahkan di Swedia setelah bertahun-tahun partai sayap kanan yang mendasarkan gerakannya pada white supremacy tidak pernah mendapatkan tempat, tiba-tiba mendapatkan 13 persen suara di parlemen. AFD di Jerman yang sangat rasis dan Islamophobic mulai menanjak popularitasnya. Fenomena di Prancis pun tak kalah menarik, dikarenakan Marine Le Pen dari Front National pun diprediksi dapat memenangi pemilihan presiden di Prancis tahun depan.

Kenapa golongan sayap kanan konservatif benar-benar mendapatkan angin nyaris di semua negara Eropa dan Amerika sekarang? Atau agar tak terlalu jauh, saya spesifikkan pada Trump. Kenapa orang bisa memilih Trump sebagai presiden? Ada kegelisahan apa sehingga membuat mereka memilih Trump sebagai presiden? Apa yang sebenarnya ada di benak pemilih?

Tulisan yang saya buat ini tak layak jadi rujukan ilmiah karena sifatnya yang hanya merangkai fakta yang saya pernah baca menjadi narasi dan kesimpulan melalui kacamata pribadi. Saya sendiri hanyalah pembaca berita politik di beberapa media massa dan dari sanalah saya membuat jalan cerita dengan versi saya sendiri.

Faktor Bernie dan Kenapa Hillary dibenci

Sebelum membahas soal Trump dan gerakan sayap kanan mentok, ada hal yang mungkin orang perlu tahu pula bahwa sebenarnya di pilpres kali ini orang Amerika sendiri dihadapkan pada pilihan yang cukup tidak mengenakkan. Bagi kaum progresif mereka harus memilih yang paling minim resiko kejahatannya. Ini bukan lagi memilih kandidat terbaik, namun memilih the lesser of two evils.

Sebelum kandidat presiden ini hanya tersisa dua orang, ada satu kandidat kharismatik yang bernama Bernie Sanders yang cukup punya integritas dan track record yang sangat baik sebagai politisi dan aktivis HAM. Bernie saya bahas disini, karena kehadirannya sebagai politisi independen yang ikut maju dalam konvensi Partai Demokrat (DNC)  ternyata cukup signifikan dalam menelanjangi rekam jejak Hillary. Saya membayangkan bila Bernie tak pernah terpikirkan untuk mencalonkan diri, bisa jadi Hillary tak akan sejatuh ini. Tandingan berat adalah yang dapat memberikan pengalaman kontras secara subyektif, meminjam istilah psikologi Gestalt ini yang disebut sebagai law of comparative judgment. Kulit saya yang coklat bisa dipersepsikan sangat gelap atau terang tergantung pada pembandingnya. Rekam jejak Bernie adalah bencana ketika dibandingkan dengan kandidat lain.

Sebagai seorang politisi, kisah Bernie bisa dibilang too good to be true. Ia mengawali aktivitas politiknya di masa muda dengan membela hak-hak minoritas di tahun 1960an. Ia pernah ditahan karena aktivitasnya yang menentang segregasi rasial di Amerika Serikat, serta ikut terlibat dalam aksi long march Martin Luther King jr. Dengan keras ia ingin merubah sistem penjara di Amerika Serikat yang tidak manusiawi. Ia konsisten dan lantang menentang mayoritas kebijakan perang yang digawangi oleh Amerika Serikat mulai dari perang Iraq 1991 hingga 2003. Ia barangkali adalah satu-satunya kandidat yang secara terang-terangan mendukung kemerdekaan Palestina dan meminta Israel untuk menghormati Palestina dan hukum-hukum internasional. Secara eksplisit bahkan ia dengan lantang mengatakan bahwa dia bukanlah teman Benjamin Netanyahu dan merupakan senator pertama di AS yang mengungkapkan secara publik untuk memboikot sesi pidato Netanyahu. Ia menyebut dirinya adalah sosialis demokrat dan menginginkan Amerika Serikat mempunyai sistem jaminan sosial sebagaimana negara-negara di Skandinavia dan Eropa yang lain pada umumnya, baik itu pendidikan ataupun kesehatan, mengingat tidak ada universitas dan pelayanan kesehatan gratis di Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah negara yang demikian kapitalis sehingga mahasiswa yang mengenyam pendidikan di universitaspun bisa sekolah dengan menggunakan sistem pinjaman, sehingga setelah lulus seringkali seeorang terbelit hutang besar. Ia pernah menuding Alan Greenspan yang dianggap berbohong dengan mengorbankan kelas menengah di AS dalam membuat kebijakan moneter. Dalam beberapa perjalanan politiknya ia mengecam bahwa budget yang digunakan untuk perang-perang AS sebenarnya dapat digunakan untuk jaminan sosial yang lebih menyejahterakan masyarakat AS. Programnya yang terkenal adalah kebijakan soal taxation pada para korporat, dimana dia akan menarik pajak tinggi pada para korporat wallstreet. Tentu saja ini membuat Bernie dianggap ancaman bagi para korporat dan oligarch di AS. Sebaliknya semua yang dikatakannya adalah angin baik terhadap kepentingan kelas menengah dan para kelas pekerja di AS.

Amerika tidaklah seperti bayangan kita akan film Hollywood. Terlepas dia adalah salah satu negara adidaya yang paling makmur namun kesenjangan penghasilan di Amerika Serikat begitu njomplang, sehingga bila dihitung 99 persen penghasilan orang Amerika ini sebenarnya jatuh pada para korporat yang jumlahnya hanya 1 persen. Kaum kelas menengah di Amerika Serikat ini tergerus dan semakin hidup susah.

Dari semua headline mainstream media yang dimiliki oleh para korporat besar, Bernie dianggap sebagai musuh dan ancaman yang nyata atas establishment dan status quo. Dalam satu hari misal pada tanggal 7 Maret 2016, Washington post pernah mengeluarkan 15 berita dengan framing negatif atas kebijakan dan sikap Bernie ketika ia berdebat dengan Hillary. Washington post sendiri adalah media yang merupakan corong Hillary. Framing bahwa Bernie adalah si tua pupuk bawang tak hanya dilakukan oleh Washington Post, tapi juga dilakukan oleh CNN, Fox, VOX, New York Times dll. Bernie dianggap Commie alias komunis oleh media dan lawan politiknya. Ia dikeroyok tidak hanya oleh media-media kaum konservatif kanan macam Fox News, tapi juga tak mendapat porsi yang fair dari media liberal kiri tengah yang jadi corong partai demokrat macam MSNBC. Hanya Huffington Post yang cenderung netral. Media-media yang kemudian getol menyuarakan Bernie adalah media media independen online macam The Young Turks, siaran radio Tom Hartmann, dan beberapa media progresif lainnya.

Filsuf Noam Chomsky menganggap bahwa policy terbaik di Amerika Serikat akan dihasilkan jika Bernie Sanders punya kesempatan menjadi presiden di AS. Wajah amerika dianggap akan jauh lebih bersahabat, walaupun beberapa orang agak menyangsikan karena sebersih-bersihnya rekam jejak Bernie dalam karir politiknya di AS , bagaimanapun Amerika sendiri dibangun atas dasar politik imperium. Politik imperium AS ini melibatkan ekspansi dan eksploitasi para korporat-korporat AS di negara-negara lain di luar amerika (termasuk melalui perang). American imperium ini bahkan ikut mendefinisikan norma dan mekanisme pasar di organisasi-organisasi perdagangan dunia, sehingga negara-negara lain pun tunduk dengan aturan yang telah dibuat bersama.

Beberapa survey sebelum konvensi partai demokrat pun menyatakan bahwa popularitas dan elektabilitas Bernie setelah dia memutuskan untuk ikut konvensi capres partai demokrat naik signifikan di Amerika serikat. Dia berhasil mengumpulkan dana kampanye dengan jumlah luar biasa dari pendukung-pendukungnya, tanpa ada satupun yang berasal dari para korporat besar. Dana kampanyenya yang fenomenal dan memecah rekor itu berasal dari total 2,7 juta donatur dengan total jumlah 231 juta USD. Jika dirata-rata perorang menyumbang 86 USD. Tidak ada dana superPAC sebagaimana Hillary mendapatkannya. Tidak ada uang Wallstreet.

Terlepas kemudian nyaris semua survey mengatakan bahwa dia punya elektakbilitas yang lebih tinggi untuk melawan Trump dibanding Hillary, namun memang nasib belum berpihak kepada Bernie. Dia harus menelah pil pahit kekalahan pada konvensi partai demokrat (DNC) oleh Hillary. Skandal email yang dibocorkan oleh wikileaks menunjukkan adanya upaya terselubung antara DNC dan Hillary untuk menjatuhkan Bernie. Beberapa pihak menyindir bahwa terpilihnya Hillary bukanlah masalah jumlah delegasi konvensi yang pro hillary yang lebih banyak tapi lebih bahwa penunjukan Hillary adalah coronation, dan bukan melalui cara yang fair dalam berkompetisi, “She is selected not elected.”

Satu hal yang kemudian menarik adalah seperti apapun kemudian tudingan konspirasi dan berat sebelahnya DNC terhadap Hillary, Bernie menerima kekalahannya. Ia meminta pendukungnya yang setia memilih Hillary untuk menghindari kerusakan yang lebih besar jika Trump menjadi presiden. Secara etika politik walaupun Bernie adalah independen, namun karena dia ikut konvensi Partai Demokrat dan kalah, maka dia harus mendukung Hillary.

Dan bagaimanapun basis massa Bernie yang militan dan fanatik –yang tidak pernah diduga banyak orang- sudah cukup merubah policy Hillary dan DNC sehingga agak ke kiri pro kelas pekerja dan lebih kuat mengangkat green issues. Pada pendukungnya ia pernah kurang lebih mengatakan “anda boleh bilang huuu kepada saya yang mengalihkan dukungan pada Hillary, tapi relakah anak-anak anda dibesarkan dalam rezimnya Trump.” Toh bagaimanapun sejak kehadiran dan perlawanan Bernie di Demokrat, demokrat telah dibawa jauh ke kiri dalam isu-isu politik.

Namun demikian kekalahan Bernie ini tetap menyakitkan bagi sebagian pendukungnya. Bernie adalah simbol anti establishment yang menentang pemerintahan yang dikendalikan oligarch yang korup. Mengalihkan dukungan pada Hillary dianggap mengkhianati idealisme para pendukungnya. Basis massa Bernie Sanders adalah orang muda dengan usia dibawah 30 tahun. 70 persen dari orang-orang muda memilihnya. Namun itu hanya 17 persen dari total pemilih di demokrat. Sayangnya golongan tua di Usia 45-64 menjadi mayoritas di demokrat dan itu yang menjadi salah satu kunci penting atas kemenangan Hillary dalam konvensi di demokrat.

Hillary dengan back up dana yang dia punya dari para bankir dan pengusaha besar dianggap sebagai representasi “the corporations”. Trump adalah pengusaha dan merupakan “a corporation.” Sehingga peperangan antara Trump dan Hillary ini sebenarnya adalah peperangan antara A corporation vs The corporations. Sungguhpun Bernie berteriak-teriak membujuk pendukungnya untuk memilih kandidat yang minim resiko kerusakan yaitu Hillary, tapi semboyan Bernie or Bust terlanjur menggema pada sebagian pendukungnya. Perjalanan kampanye Bernie terlalu banyak membuka aib politik Amerika Serikat yang penuh dengan uang panas korporat, darah, perang, dan intrik. Perseteruan kampanye antara Hillary dan Bernie telah membuat aib-aib Hillary terbuka, mulai dari dukungan Hillary dengan perang-perang AS di timur tengah, dukungan terhadap fracking, track record Hillary atas kata-kata superpredator pada orang kulit hitam, atau penentangan Hillary soal hak-hak LGBT hingga tahun 2010, dan yang terparah adalah terungkapnya kedekatan Hillary dengan para bankir-bankir wallstreet, mulai dari Lehman Brothers, Morgan Stanley, Goldman Sachs, dll.

Hillary bukanlah suara orang kebanyakan, dia bukan suara orang kelas menengah. Dia membawa kepentingan pengusaha-pengusaha besar.  Dalam pidato-pidatonya bahkan dia dibayar tinggi oleh para korporat untuk membawa kepentingan mereka. Di tahun 2013 Hillary  dibayar $675,000 untuk tiga pidato untuk Goldman Sachs. Angka-angka itu cukup membuat orang biasa merasa bahwa Hillary tidak pernah mewakili kepentingannya. Suara Hillary adalah suara yang terbeli oleh kepentingan korporat.

Ed O’Brien, peneliti ilmu perilaku dari University of Chicago Harris School of Public Policy, mengatakan bahwa Hillary Clinton dan Donald Trump adalah kandidat yang paling dibenci dalam sejarah politik AS dikarenakan track record dan reputasi buruk masing-masing. Sehingga memilih Trump atau Hillary bagi sebagian orang muda progresif di AS adalah pilihan dilematik antara lesser of two evils, The corporations atau a corporation?

Trump memang rasis dan narsis, tapi bagaimanapun bisa dibilang dia adalah simbol kemarahan bagi sebagian orang AS. Bahkan sebagian orang progresif yang awalnya mendukung Bernie mengatakan, “ya sudah sekalian Trump saja and fuck up the system.” Biar sistem ini hancur sekalian dan kita semua tahu rasa sekalian. Filsuf dan psikoanalis Slavoj Žižek mengatakan bahwa andai dia adalah orang Amerika maka dia lebih baik memilih Trump dibanding memilih Hillary. Dia mengatakan, “I’m horrified at Donald J Trump. But I think Hillary Clinton is the true danger.” Kita harus tahu siapa dibalik Hillary, dia bertingkah seakan dia adalah progresif padahal dia tidak. Jika Trump menang, sistem yang sudah lama dibangun ini bisa dibilang akan diacak-acak oleh kebodohan Trump, tapi ini akan membuat sebagian orang-orang Amerika baik dari demokrat dan republik untuk merefleksikan dirinya sendiri. Žižek menyadari akan ada hal yang berbahaya dan riskan. Ada ongkos politik yang kemungkinan mahal dan gila sebagaimana white supremacy akan bangkit dan kaum minoritas di AS pun terancam. Namun masa-masa ini akan jadi masa transformasi yang bernilai atas kehidupan di Amerika Serikat untuk berefleksi lagi atas banyak hal.  Dan buat saya pribadi bukan hanya terhadap AS tapi juga terhadap dunia. Kita baca koran kemarin, begitu banyak skeptisisme terhadap Amerika Serikat mulai dari kaum terdidik hingga politisi dunia termasuk beberapa politisi di jerman. Ada banyak hal berubah yang mungkin akan terjadi ke depannya. Dan mungkin termasuk peta politik dunia yang berubah.

Lalu kenapa Trump begitu populer

Ada realitas yang tidak dapat dipungkiri sebagaimanapun Trump dibenci, dia tetaplah populer di mata pendukungnya. Bisa dibilang Trump memainkan kartu truf yang penting dalam memainkan psikologi politik orang Amerika. Ide politik sayap kanan seringkali mengatakan dikotomi antara kami dan mereka. Ada musuh bersama dan ada ancaman dari pihak-pihak luar. Nasionalisme sayap kanan identik dengan nilai konservatif dimana ada nilai-nilai lama yang harus dilestarikan, pergeseran-pergeseran norma dan nilai sosial sering dianggap sebagai penyimpangan dan kemunduran serta mengancam keberadaan mereka secara eksistensial. Trump memainkan ini. Ia pun mendapatkan dukungan dari orang-orang ekstrim kanan, evangelic, dan white anglo-saxon protestant.

Apalagi dengan jumlah imigran yang datang ke AS tiap tahunnya yang mencapai 1 juta orang. Keterbukaan AS atas imigran ini dianggap mengancam eksistensi, privilege and superiority feeling yang sudah mereka punya. Isu bahwa perkembangan orang-orang Latino akan meningkat tajam dan bahkan akan menjadi mayoritas di tahun 2025 membuat superioritas sebagian orang kulit putih terancam. Tentu ini adalah hal yang sebenarnya secara nalar sejarah sulit diterima, karena Amerika sendiri adalah tanah harapan bagi para imigran lebih dari 240 tahun lalu. Pondasi Amerika dibentuk oleh mimpi-mimpi para imigran untuk mempunyai kehidupan lebih baik di dunia baru. Tentu saja tak semua orang kulit putih adalah pendukung white supremacism, namun adalah fakta jika perasaan itu ada di sebagian pemilih kulit putih pemilih Trump.

Hal yang sama terjadi di Indonesia yang kerap mengatakan golongan orang-orang tertentu yang berbeda aliran halal darahnya. Golongan x misalnya bisa jadi sering dicurigai dan dipersalahkan melakukan misi-misi agama tertentu dan dapat menyebabkan degradasi nilai agama tertentu bagi golongan mayoritas di beberapa tempat, sehingga pendirian rumah ibadah agama x dianggap mengancam dan merusak nilai-nilai yang sudah ada. Sehingga tak beda bila kita benci dengan Trump dan pendukungnya yang selalu mengobarkan isu SARA, sebagian dari kita pun sebenarnya sama-sama melakukan. Kita benci orang lain melakukannya, tapi kita melakukannya. Trump berteriak soal supremasi politik mayoritas orang kulit putih, kita pun sering berteriak soal privilege mayoritas baik itu dalam ranah agama ataupun suku (misal isu Jawa vs non Jawa atau pribumi non pribumi). Kita benci Trump, benci orang Islam diperlakukan sewenang-wenang di negeri orang, tapi kita melakukan hal yang sama terhadap golongan minoritas, non jawa, non-pribumi bahkan ribut-ribut dengan gosip para pekerja asing yang masuk ke Indonesia.

Kebencian yang menguat ini pun tak datang dengan sendiri. Ada sebuah perkawinan yang kompleks antara white supremacism dengan peradaban kompetitif dalam masyarakat kapitalisme. Orang lelah dengan ketidakpastian hidup. Modernisme yang menikah dengan kapitalisme lanjut ini membuat orang semakin gila untuk bersaing dan membuktikan diri. Pihak-pihak yang berada di luar dirinya dianggap sebagai ancaman yang nyata. Orang dibuat bekerja dan berkompetisi sekeras-kerasnya untuk menjadi yang terbaik. Dalam sistem kompetisi  yang ada dalam dunia kapitalisme ini, ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Ada pihak yang mendapat sangat luar biasa banyak dan ada pihak yang hanya mendapat sangat sedikit sebagaimanapun dia sudah bekerja keras. Ini ditambah dengan adagium evolusi survival of the fittest, siapa yang kuat dia yang bertahan; yang kalah tersingkir, mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa. Tidak hanya soal rejeki secara material, dikotomi kalah menang ini membuat kita jatuh secara psikologis dan serta merasa menjadi tontonan yang memalukan jika kalah. Kita dibuat terobsesi untuk selalu melihat keatas, menggapai prestasi tertinggi, dan menggenggam ego yang paling tinggi yang sebenarnya tidak ada habisnya. Seakan ada hal yang harus kita buktikan kepada semua orang bahwa kita bisa jadi pemenang dan yang terbaik. Konsekuensinya, kita sebenarnya tak pernah melihat orang lain sebagai entitas manusia yang sama seperti kita, tapi kita melihat mereka sebagai pesaing yang bisa mengalahkan kita, yang mengancam eksistensi kita, yang mengganggu kenyamanan kita. Barangkali itu kenapa kemudian pendatang selalu dianggap sebagai ancaman.

Dengan kondisi kelas menengah di Amerika serikat (dan negara lain) yang bisa dibilang tergerus dan nyaris kolaps, isu ini bisa dibilang laku keras terutama di kalangan orang-orang yang tak cukup berpengetahuan. Isu imigran yang digiring sedemikian rupa dan isu Islamophobia yang mengemuka mendapat anginnya. Mereka punya musuh bersama atas kekalahan dan penderitaannya. Kamilah yang berhak dan merekalah yang seharusnya bertanggung jawab.

Tidak hanya terkait masalah imigran bahkan masalah perdagangan bebas juga mengukuhkan konservatisme antara kami dan mereka di masyarakat AS. Banyak pekerja di Amerika skeptis atas beberapa perjanjian perdagangan bebas yang dianggap merugikan, termasuk NAFTA, TPP, dan TTIP. Perjanjian ini kerap dianggap tidak adil dampaknya bagi kelas pekerja karena ketidakseimbangan perdagangan dengan beberapa negara-negara yang tergabung dalam asosiasi tersebut. Tentu saja dampak menguntungkan dari perdagangan bebas itu bukanlah untuk orang-orang kelas pekerja tapi untuk para korporat di AS. Ada kelas pekerja kulit putih yang dirugikan sumur-sumur rejekinya bukan hanya oleh pendatang, tapi oleh negara lain dan para korporat-korporat besar di negaranya sendiri. Trump sendiri tidak memiliki pandangan positif dengan isu perdagangan bebas tersebut. Bisa dibilang ia mengumandangkan politik identitas berbasis pada isu-isu proteksi SARA tertentu dan juga proteksi ekonomi AS.

Selama ini pula, orang muak dengan gaya politik yang munafik dan penuh intrik. Trump terlepas dengan gayanya yang rasis, namun ia dianggap genuine dan merepresentasikan suara yang tidak terkatakan pada sebagian orang Amerika awam (yang tidak mengenyam pendidikan tinggi). Bahasa Trump adalah bahasa yang mudah dicerna ditengah kegelisahan dan kecurigaan orang terhadap golongan lain. Beberapa orang mungkin berpikir, “ini orang yang mengatakan apa yang tidak terkatakan oleh saya.” Orang tak perlu malu lagi untuk mengatakan apa prasangka negatifnya pada kelompok lain yang dianggap mengancam eksistensi dan privilege-nya dengan berpura-pura toleran. Dengan gayanya yang genuine, Trump mampu mengatakan apapun yang ada di pikirannya apa adanya. Namun sekaligus ini menunjukkan ada gap value antara orang-orang terdidik dan orang-orang yang kurang berpengetahuan. Sama dengan di Indonesia, kita tidak perlu heran bila ada politisi Indonesia yang berperangai buruk namun tetap didukung, karena inilah kapasitas kognisinya, dan begitu pula kapasitas kognisi pendukungnya.

Terakhir bisa jadi resistensi kelompok kanan konservatif akhir-akhir ini adalah karena siklus aksi-reaksi atas dunia yang marah dan penuh pertentangan dengan pendukung kelompok progresif. Asumsi saya ini bisa jadi meloncat terlalu jauh. Kelompok konservatif merasa dirinya benar dan kelompok progresif salah, sebagaimana kelompok progresif merasa benar dan konservatif salah. Sampai pada titik ini tidak ada masalah karena semua orang dan kelompok bisa punya stand point sendiri atas kebeneran yang diyakininya. Yang jadi masalah adalah reaksi dari beberapa kelompok progresif yang cenderung membully kelompok konservatif dengan sebutan ketinggalan jaman, tolol, tidak terbuka, tidak rasional dan terjebak pada pola lama. Sebenarnya ini-pun dilakukan oleh kelompok konservatif sayap kanan. Namun sebagai kelompok yang terbuka pikirannya, semestinya mereka yang mengaku progresif menyadari akan hakikat keyakinan yang kompleks, dimana seorang progresif bisa dan boleh untuk sangat yakin akan keyakinannya, tapi di satu sisi penting baginya untuk menyadari relativitas pandangannya, karena ada eksistensi kebenaran lain yang bisa diyakini oleh kelompok lain yang tidak bisa ditiadakan dan dihilangkan. Ada ketidakrendahatian dan arogansi kelompok-kelompok tersebut. Meme-meme hinaan dan posting sarkasme pada kelompok yang kita tidak sukai tidak pernah membuat orang akan berubah menjadi seperti apa yang kita sukai, tapi justru akan mempertebal egonya sendiri. Seseorang bisa kesal dengan Trump, tapi dengan membully Trump ini tidak akan membuat orang-orang yang menjadi pendukung Trump menjadi berbalik benci dengannya. Sebaliknya ego para pendukung justru tersakiti. Menyakiti apa yang menjadi kepercayaan orang lain pada hakikatnya adalah menyakiti bagian dari self seseorang. Seseorang yang telah disakiti kepercayaannya justru secara irasional dapat membabi buta membela orang yang dijadikan pujaannya. Bila anda tidak suka dengan organisasi, kita sebut saja misal FPI (Front Pembela Ideologi), maka membully para tokoh-tokoh FPI dengan meme-meme dan postingan-postingan sarkas tidak akan pernah merubah keadaan. Kita justru mempertebal dinding perbedaan pada kubu lawan. Mungkin inilah saatnya bersikap progresif tanpa meniadakan. Progresif tanpa membully dan rendah hati.

 

19 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*