Pada saat sudah berada pada karir yang cenderung stabil dan relatif dianggap punya prestasi, ada beberapa hal biasa yang terjadi baik pada diri sendiri ataupun orang lain. Orang lain akan melihat jalan kita begitu mudah dan nyaman. Hidup kita begitu enak dan nikmat. Wajar saja karena tidak ada yang pernah tahu bagaimana rasanya menapaki onak, duri, dan batu terjal yang dilewati sendiri. Orang lain hanya melihat dengan mata dan indranya, bukan dengan perjalanan subjek yang dilalui sendiri-sendiri yang bisa jadi menguras fisik dan emosi. Pun tidak penting orang tahu bahwa ada masa dari perjalanan kita yang paling rendah dan direndahkan. Semua orang punya cerita dalam menjalani tapaknya yang belum selesai dalam satu titik, bahkan seorang pencuri bisa jadi pejuang dari perjalanannya atas hidup.
Pada sisi diri sendiri, prestasi dan tepuk tangan ternyata tak ubahnya seperti putaw yang membuat sakaw dalam mengejar yang lebih dan lebih lagi. Kita terobsesi menguras keringat agar selalu terdepan dalam lintasan dengan tidak habis membandingkan. Pusat perhatian adalah nomor satu biar keplok yang didapat lebih banyak dan keras. Dan kita bisa bilang lantang terang-terangan, malu-malu atau sembunyi-sembunyi ke orang-orang, “ini lho guwe! Hebat!” Lalu di tengah hingar bingar puja puji prestasi, kita mulai belajar bertahan mempertahankan tepuk tangan dengan jadi penindas. Kita menyuruh orang-orang di bawah kita untuk bekerja habis-habisan demi kepentingan kita agar tetap besar, tanpa kita mau tahu beban hidup dan dan hak-haknya, berikut dengan hukuman psikologis pada mereka yang kita hakimi karena karakternya yang kita anggap minus.
Saat ini belum usai pada satu titik. Bisa jadi esok, gegap gempita yang kita punya berikut kedigdayaannya akan habis tercerabut, hingga kita sendiri telanjang dengan tersisa rasa malu. Dan orang-orang yang sebelumnya ‘nggumun’ ikutan hora hore dan puja-puji ternyata telah lupa dengan semua prestasi, kebaikan, kejayaan yang pernah kita lewati. Dan saat itu juga orang-orang yang kita pernah ambil hak-haknya telah berkibar jauh di atas kita yang pernah menindas. Saat itu kita cuma merasa menang dalam kenang, dan menuntut mereka yang lupa untuk mengingat memori yang sama. Lalu kita semakin menyakiti diri dengan memaksa orang punya pikiran sama disaat tak punya daya.
Kata Maya Angelou “’I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel” Berhati-hati ketika sekitar sudah menganggap hebat dan digdaya. Pada saatnya semua akan dilupa, bahkan kebaikan kita, kecuali perih dan luka yang tersisa pada mereka yang tidak pernah terungkap dengan kata.
How much suffering and fear, and
How many harmful things are in existence?
If all arises from clinging to the “I”,
What should I do with this great demon?”
Shantideva
5 Comments