Memoir

Besok tidak harus lebih baik

Warsawa, 3 Maret 2018

Tidak ada yang pernah bisa menduga bagaimana perjalanan hidup seseorang. Gagal dan berhasil hari ini bukanlah tolak ukur yang bisa dijadikan pegangan untuk melihat apa-apa yang bisa dicapai oleh seseorang di masa depan. Banyak faktor yang membuat seseorang berkembang dari apa yang bisa kita pikirkan. Kita tidak pernah tahu bagaimana di luar bangku sekolah dan kuliah seseorang ditempa oleh hidupnya masing-masing. Kita tidak pernah tahu dengan siapa ia bertemu, lalu bagaimana setiap pertemuan dengan orang lain akan merubah kehidupan seseorang baik secara perlahan ataupun tiba-tiba.

Beberapa mahasiswa saya yang dianggap sulit, ternyata di masa sekarang menjadi pribadi yang mandiri dan tak bergantung dengan siapapun. Segala hal yang dipelajari di sekolah memang seakan terlihat ditinggalkan, namun demikian kemandirian dan keberaniannya dalam menjalani hidup adalah hebat dibidangnya. Apapun itu, setiap orang bisa jadi telah berusaha menjadi pahlawan bagi hidupnya masing-masing.

Saat ini saya-pun mencoba merenungi perjalanan yang saya lalui dulu sedari kecil hingga lulus sekolah. Hidup saya pernah nyaris dianggap sulit dan tak bermasa depan oleh sebagian orang. Selain problem masa kecil, ada pula dengan pengalaman abuse test intelejensi ketika saya masih SD, dan juga kegagalan berturut-turut saat saya lulus SMA. Ketika SD, IQ saya dianggap berada dalam garis borderline (skor 81) dan itu dibacakan oleh guru di depan kelas.
Ketika SD kelas 2, saya pernah pula dituduh menghilangkan sepeda kakak kelas saya. Tuduhan masal sebagai pencuri itu demikian menekan sehingga membuat saya memberikan pengakuan atas hal yang tidak saya lakukan. Ibu saya yang baru saja merintis karir dengan gaji terbatas di Jakarta-pun memutuskan membelikan orang yang kehilangan sepeda dengan sepeda baru. Ia tetap yakin bahwa saya bukanlah seperti yang dituduhkan orang-orang. Sampai hari ini ibu saya masih menyimpan bon pembelian sepeda itu. Ibu saya kerap berkaca-kaca kalau ingat bagaimana masa kecil yang saya lewati dan saya sekarang. Terima kasih untuk Ibu saya yang selalu percaya.

Selepas SMA saya tidak serta merta bisa kuliah di perguruan tinggi. Saya gagal diterima UMPTN. Saya gagal masuk di UMY gelombang 1, 2, dan 3, dan beberapa perguruan tinggi swasta lain. Saya gagal masuk STAN. Saya gagal masuk STT Telkom. Saya gagal masuk ujian D3 di jurusan Ekonomi, geografi, dll di beberapa perguruan tinggi negeri. Seingat saya ada total 14 tes yang saya jalani, dan sebanyak tes itu tak ada satupun yang lulus. Saya malu bertemu dengan teman-teman SMA yang sudah berkuliah di Universitas ternama macam ITB, Brawijaya, UGM, STP Bali dan lain-lainnya. Saya masih tak punya sekolah. Saya lalu memutuskan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja yang baru saja membuka Fakultas MIPA. Fakultas MIPA di perguruan tinggi tersebut statusnya masih terdaftar, maka saya masuk tanpa tes. Kurang dari setahun, saya memutuskan berhenti di tengah jalan. Hidup saya kemudian pindah dari kos teman satu ke kos teman yang lain. Teman dekat SMA saya, Tri Agus Syahputra, adalah teman yang mempersuasi saya untuk ikut tes UMPTN lagi. Dan saya diterima di Fakultas Psikologi Unair di tahun 2001.

Ketika kuliah di Surabaya rambut saya gondrong dan menjadi aktivis pers di kampus. Namun demikian dunia aktivis itu juga tak senyentrik yang dibayangkan. Bisa dianggap cukup pelik. Ada seorang perempuan yang pernah mengatakan ke saya, “idealisme memang menarik, namun hidup itu mesti dihadapi dengan realistis bukan dengan idealisme.” Intinya bahwa kenyataan hidup itu nggak seseksi idealisme. Jadi maksudnya, “walaupun keliatannya pikiranmu menarik tapi kamu bukan buat saya!” 😀

Saya lulus dan secara beruntung menjadi yang terbaik di kampus S1. Bapak Ibu saya yang bercerai sejak usia saya 6 tahun bertemu dalam upacara wisuda saya. Dua-duanya memeluk saya dan menangis terharu menyadari bagaimana perjalanan keluarga yang penuh liku. Bapak saya ingat ketika mobilnya tabrakan di tahun 2000 ketika mengantarkan saya tes di Semarang (dan itu saya gagal diterima). Ibu saya ingat ketika saya menelpon beliau tanggal 1 Agustus tahun 2000. Waktu itu saya mengabarkan tidak diterima tes masuk perguruan tinggi untuk ke 14 kalinya.

Setelahnya, saya ingin menjadi dosen. Saya tak pernah punya pikiran bekerja di profesi lain. Walau ternyata perjalanannya juga tak semudah yang dibayangkan orang. Namun demikian, pendek kata, saya akhirnya diterima. Dua tahun kemudian saya kuliah di Rusia, di tempat yang tidak populer untuk belajar. Setelah saya lulus master di tahun 2011, saya diterima melanjutkan PhD di St. Petersburg University. Namun kepulangan ke Indonesia, membuat perjalanan sekolah saya berbelok ke University of Warsaw di Polandia. Ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum keberangkatan ke St. Petersburg. Obrolan iseng antara Aleksandra, saya, dan Pak Seger Handoyo ternyata merubah haluan sekolah saya. Tak ada yang bisa memprediksi kedahsyatan waktu dan pertemuan. Perubahan dapat saja terjadi tanpa disangka bahkan disaat iseng.
—-
Tiga hari lalu ketika berada di pesawat menuju Polandia, hal-hal yang saya ceritakan tadi muncul dalam benak saya ketika saya melihat apa-apa yang terjadi dalam karir saya akhir-akhir ini. Saya mengakui, bagi beberapa orang di level yang lebih di atas, apa yang saya raih ini bisa jadi biasa dan bukanlah sesuatu yang istimewa. Pencapaian memang relatif bagi setiap orang. Namun demikian, saya hanya ingin menceritakan bahwa apa yang saya capai hari ini telah melebihi dari apa yang pernah saya cita-citakan dan mimpikan. Apalagi saya bukan tipikal manusia yang meletakkan ambisi dan mimpi untuk mencapai apa yang saya inginkan. Saya bukan penganut pepatah, “seseorang tanpa ambisi adalah seperti burung tanpa sayap”. Apa yang menjadi guidance saya bukanlah mimpi dan cita-cita setinggi langit dan kemudian mengejarnya habis-habisan. Saya tak punya panduan melainkan hanya dedikasi dengan mencintai apa-apa yang saya lakukan, saya ingin menjaga kepercayaan, sekaligus menjaga nama baik saya dan orang-orang terdekat.

Saat ini saya di Warsawa, dipanggil untuk mengajar di almamater tempat saya pernah bersekolah dulu. Sepanjang perjalanan karir saya sebagai pengajar, dua kali saya dipanggil mengajar di luar negeri. Di Rusia di tahun 2012 dan saat ini di tahun 2018. Saya tak bisa membohongi diri sendiri, bahwa saya berbangga dengan pencapaian ini setelah apa-apa yang saya lewati, setelah merasakan bagaimana rasanya dirisak dan kesepian di masa kecil. Saya ingat bagaimana saya pernah diremehkan oleh beberapa orang di sekitar saya, bagaimana kegagalan beruntun ketika saya berusia 18 tahun. Saya menyadari setiap cerita gagal dan manis punya peran yang sangat signifikan dalam membentuk saya. Tabir rahasia hidup itu baru bisa dirasakan keajaibannya setelah dilewati satu demi satu dengan kesadaran penuh. Saya tak selalu berpikir positif dengan hidup. Saya kadang marah. Saya kadang takut. Tapi saya sadar bahwa saya tak punya pilihan, selain mau tidak mau menjalani, setakut dan semarah ataupun sememalukan apapun tindakan yang sudah terlanjur saya lakukan.

Saya pun tak bisa memungkiri begitu banyak faktor di luar yang berperan besar dalam membentuk saya. Tidak hanya mereka yang memperkaya emosi-emosi yang bersifat positif, bahkan yang negatif punya peranan yang besar dalam menantang untuk melampaui batasan-batasan yang ada di pikiran saya. Namun demikian mereka-mereka yang hadir dengan tulus dalam doa seperti orang tua, kakak, adik-adik, dan orang-orang terdekat yang punya tempat spesial dalam hati. Begitu juga para supervisor saya yang mempercayai saya, mantan dekan saya yang dulu berani pasang badan ketika saya bersekolah, dan teman-teman yang selalu berpikir positif.
—-

Di saat yang sama, di tempat saya mengajar saat ini, Prof. Robert Cialdini, dari Arizona State University dan Stanford University -yang teorinya tentang “social influence” saya biasa ajarkan di kelas- ternyata hadir pula memberi seminar. Saya lagi-lagi tak pernah bermimpi untuk bisa berada dalam medan yang dekat dengan Cialdini.

Di tengah dinginnya anomali musim yang terjadi di Eropa di awal 2018, mata saya mendadak jatuh melihat salju di balik jendela apartemen. Fasilitas yang saya dapatkan jauh dibanding apa yang saya pikirkan. Hidup saya di Surabaya jauh dari fasilitas ini. Saya masih menikmati tinggal di kamar kos di Surabaya dan masih mengayuh sepeda onthel untuk pergi ke kampus. Saya katakan kepada orang terdekat saya bahwa fasilitas yang diberikan untuk ilmuwan kecil macam saya dengan pencapaian publikasi penelitian internasional yang masih bisa dihitung dengan jari ini terlalu mewah. Saya bukan siapa-siapa dibandingkan dengan Prof. Robert Cialdini. Riset dan pengalaman saya tak sementereng Prof. John Jackson yang setiap tahun selalu bolak balik Michigan-Warsawa. Apa-apa yang saya dapatkan sekarang bisa dicerabut besok atau kapanpun. Sebagaimana apa-apa yang tidak pernah kita pikirkan, ternyata bisa terjadi esoknya, baik itu rejeki ataupun musibah. Kompetisi dalam dunia sains begitu ketat. Ilmuwan-ilmuwan baru lahir dengan ambisi besar untuk bertahan dalam belantara ide dan karya. Mereka semua berlomba-lomba mendapatkan reputasi besar. Di Indonesia-pun kerja ilmuwan di PT lebih mirip disebut sebagai kerja yang mirip dengan sistem perbudakan. Ilmuwan dilihat sebagai alat produksi dan mesin publikasi untuk meningkatkan prestise institusi tapi bukan sebagai manusia.

Saya termenung toh saya tidak harus mendapatkan apa yang sudah pernah saya dapatkan sekarang. Saya hanya mesti menikmati dan menghayati benar apa yang saya punya sekarang. Merenungkan ini begitu teduh. Ini membuat saya merasa aman untuk melakukan apa yang saya cintai dengan penuh tanpa merasa terbebani. Besok buat saya tak harus lebih baik, tapi saya tahu besok saya akan melakukan hal yang saya cintai dengan sebaik-baiknya sebagaimana saat ini.

261 Comments

  1. Pingback: gaianation

  2. Pingback: snapitf

  3. Pingback: crmozon

  4. Pingback: cpsmath

  5. Pingback: makersfinds

  6. Pingback: contiendas

  7. Pingback: lacarspotting

  8. Pingback: drwalterp

  9. Pingback: filigrania

  10. Pingback: quattic

  11. Pingback: skwpartners

  12. Pingback: caspigas

  13. Pingback: wanakahomes

  14. Pingback: mathewslodge

  15. Pingback: alyadance

  16. Pingback: efornak

  17. Pingback: latzinsurance

  18. Pingback: spacesmacks

  19. Pingback: taedits

  20. Pingback: masalokumak

  21. Pingback: cefashion

  22. Pingback: muadotho

  23. Pingback: larosaviola

  24. Pingback: karunasoap

Leave a Reply to Tanja Cancel

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*