Articles

Arah Pendidikan Tinggi di Era Disrupsi

Perkembangan teknologi informasi yang mengedepankan kecepatan, efisiensi, dan otomasi telah membuat masa depan menjadi tidak dapat diprediksi, ambigu, dan kompleks. Dalam menghadapi disrupsi ini, Mendikbud melalui kebijakan Merdeka belajar sebenarnya cukup sensitif melihat pentingnya perubahan dalam perguruan tinggi untuk kembali pada semangatnya sebagai collegium civitas yang otonom dalam memberikan solusi terbaik pada masyarakat. Otonomi atas institusi dibutuhkan untuk dapat menjawab problem yang sifatnya kontekstual mengingat institusi perguruan tinggi telah terlanjur terlampau administratif, birokratis, dan politis.

Dalam semangat otonomi tersebut maka dibutuhkan refleksi atas peran PT di masa lalu, saat ini, dan ke depan sehingga dapat memfasilitasi perubahan yang benar-benar bermakna. Bagaimanapun, perguruan tinggi merupakan sebuah organisasi yang harusnya mengambil peran sebagai brain yang bersifat otonom yang terbuka, selain tentunya berperan dalam transformasi di lingkungan yang dihidupinya. Garreth Morgan (2006) menyebut bahwa organisasi sebagai sebuah sistem terbuka seharusnya berada dalam interaksi konstan dengan konteksnya, mentransformasi semua input yang ada menjadi ouput sebagai sarana untuk menciptakan kondisi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam situasi perubahan.

Bagaimanapun, terdapat kesenjangan yang menganga antara 4 agen besar dalam perubahan yaitu, pemerintah sebagai policy maker, kepentingan industri, kondisi sosial masyarakat, serta pendidikan sebagai institusi yang kerap menjadi agen aktif dalam menjawab dinamika persoalan masyarakat dan menjembatani kepentingan antara masyarakat, pemerintah, dan industri.

Persoalannya kemudian, apakah perguruan tinggi cukup sensitif dalam merefleksikan kepentingan siapa yang paling besar direpresentasikan dalam perubahan ini? Industri kapitalisme global ataukah masyarakat?

Dalam sejarahnya, pendidikan hadir dalam menjawab gejolak sosial politik masyarakat yang dinamis. Ia hadir ketika masyarakat kerapkali dihadapkan pada kejumudan kebenaran status quo mulai dari jaman Plato mendirikan Akademia hingga awal-awal universitas modern didirikan. Ia juga menjadi agen penting yang merefleksikan disparitas kebijakan negara, pemodal, dengan dinamika yang terjadi pada masyarakat. Ia pula yang menyediakan sumber daya penting dalam menjawab perubahan jaman yang pada akhirnya digerakkan oleh revolusi industri. Dalam kasus terakhir, di era industry 4.0, apakah kemudian perguruan tinggi saat ini hadir dalam menyediakan sumber daya penting dalam kehidupan masyarakat ataukah justru hadir menjadi sumber krisis utama di masa depan ketika jutaan pengangguran yang dihasilkannya tak lagi mampu berhadapan dengan semangat efisiensi dan otomasi.

Kekejaman di masa depan

Jika mencermati perkembangan pendidikan sejak era revolusi industri, maka nampak bahwa melalui rezim pengetahuan yang dihasilkannya, institusi ini kerap menjadikan manusia dan masyarakatnya sebagai objek untuk mengabdi pada kemajuan modernisme dan keuntungan kapitalisme global. Semangat modernitas dan perubahan global yang ditunggangi kredo memaksimalkan keuntungan oleh kapitalisme telah menjadi panglima. Masyarakat mau tidak mau harus mengikutinya. Secara materialistik, peradaban memang memang maju, tapi benarkah ini berbanding lurus dengan kebahagiaan, pemerataan kesejahteraan masyarakat baik psikologis dan material?

Penerjemahan yang serampangan akan tantangan jaman oleh institusi pendidikan yang hanya mengabdi pada kepentingan pemodal dan buta akan realitas masyarakat akan menghasilkan krisis dan kekejaman di masa depan. Jaman demikian cepat menuntut dan merubah mentalitas manusia. Teknologi pun pesat berubah melampaui kapasitas kecepatan kognisi evolutif manusia untuk bisa merefleksikannya. Jika tidak awas mengambil sikap maka teknologi yang semula dianggap dapat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya, ia justru beresiko melemparkan dirinya sendiri dalam krisis besar kemanusiaan.

Ada saat bagaimana teknologi dibuat untuk membantu manusia baik untuk memperkuat kapasitas fisik, ambang indrawi, kemampuan intelektual yang mereka punya. Ia ada untuk memudahkan hidup manusia, menjadikan hidupnya lebih berbahagia dan sejahtera. Namun saat ini, ia telah dibuat melampaui kapasitasnya karena ia telah menjadi pesaing utama manusia sehingga manusia tak mampu mengungguli kepintaran, kecepatan, dan efisiensinya dalam menyelesaikan pekerjaan. Manfaat dan efisiensi teknologi lagi-lagi hanya terlihat menonjol dari kacamata pemodal bukan dari kacamata kesejahteraan masyarakat jamak.

Di saat yang sama, teknologi informasi seolah membuat manusia tak berdaya ketika berhadapan dengan denting notifikasi dari gawai yang dimiliknya. Notifikasi berhamburan tiada henti untuk percepatan tenggat waktu penyelesaian pekerjaan. Istirahat dianggap tak efisien dalam kacamata kemajuan yang digerakkan melulu oleh kecepatan. Saat yang sama, mereka digoda untuk selalu berkompetisi dengan nilai nilai tanda untuk memuaskan hasrat narsisme dangkal dari jumlah jempol yang didapatkan dari status sosial media. Untuk bertahan dalam tensi antara bekerja efisien dan hasrat untuk menunjukkan diri membuat mereka nyaris tak punya jeda dan tak pernah berjarak dari keseharian.

Satu sisi, negara telah menggalakkan investasi pemodal besar sehingga sektor industri diharapkan dapat menjamin kehidupan ekonomi melalui siklus uang melalui barang dan jasa. Persoalannya siklus uang dari mana ke mana? Pendapatan siapa? Sementara tidak ada satupun dari industri yang tidak menginginkan efisiensi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Efisiensi sendiri dapat dicapai dengan otomasi.

Dalam revolusi industri 4.0 tenaga manusia menjadi tidak cukup efisien dalam menghasilkan keuntungan. Manusia dianggap memiliki keterbatasan dalam bekerja, tidak cukup taat, dan tidak presisi dibandingkan robot dan machine learning. Apalagi jika mempertimbangkan pada rutinitas manusia saat ini yang hanya sibuk mematut-matut dirinya untuk menjadi terkenal di media sosial tanpa memikirkan hal hal substansial dalam kehidupannya. Mengelola manusia dianggap lebih susah dibandingkan mengelola robot. Tidak heran peran manusia dalam beberapa dekade terakhir ini telah diambil oleh kecerdasan buatan dan mesin-mesin pintar. Bekerja pada akhirnya hanya menjadi priviledge pada mereka yang terpilih yang menjamin efisiensi produksi untuk keuntungan sebesar-besarnya. Tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Ini menjadi paradoks besar, apakah sistem ekonomi yang kita buat diciptakan untuk efisiensi produksi ataukah justru dibuat untuk sebesar-besar menjamin kesejahteraan masyarakat? Padahal ujung dari produksi adalah konsumsi. Peradaban ini rawan mengalami krisis karena sebagian besar manusia justru kehilangan daya beli untuk memenuhi kebutuhannya karena ia tak lagi memiliki pekerjaan yang mampu menghidupinya.

Adakah ketegangan mental dari sumber daya milenial seperti ini telah cukup direfleksikan sehingga kita benar-benar tahu langkah fundamental apa yang harus diambil institusi pendidikan sebagai agen aktif dalam mentransformasi masyarakat dan mempersiapkan generasi saat ini di masa depan.

Jawaban PT
Alih-alih bersikap terbuka dalam mempersiapkan mentalitas manusianya untuk menghadapi ketidakpastian dan potensi akan krisis besar ini, institusi pendidikan tinggi hanya sebatas mendengungkan jargon “bersiap akan era industri 4.0”. Perguruan tinggi tak menunjukkan perubahan berarti terkecuali hanya sekedar urusan birokratis dan administratif untuk berkompetisi pada hal-hal yang tidak substansial. Organisasi perguruan tinggi seolah tak mampu keluar dari zona nyaman administratif sebagai manifestasi dari lembaga birokratis dan politik. Jika melihat perumpamaan Plato tentang allegory of the cave, maka perguruan tinggi tak ubahnya seperti manusia yang terikat dalam gua yang terjebak dalam bayang-bayang objek karena pantulan api. Ia tak mampu dan tak mau keluar dari gua tempatnya hidup untuk melihat kondisi masyarakatnya yang sebenarnya.

Tidak ada perubahan pola belajar dan mengajar yang sistematis. Ia masih tetap terbuai dalam prestise untuk menjadi yang terbaik dalam sistem perangkingan global. Tenaga dosen ‘dipaksa’ untuk menjadi garda depan dalam persaingan global lewat indikator QS dan perangkingan global yang lain. Tri darma perguruan tinggi adalah semata persoalan administrasi bukan substansi. Ia tak mengarahkan segenap energinya untuk merefleksikan dan memecahkan problem kontekstual di masa ini dan masa depan. Saat yang sama, ia masih terbuai dalam indikator daya serap pasar kerja di saat industri global lebih mengutamakan efisiensi.

Padahal, di saat ini, terdapat kesenjangan mentalitas sebagian besar peserta didik milenial yang sudah terbiasa dengan pemuasan kebutuhan instan melalui stimulus notifikasi dan multitasking tiada henti, serta unggahan untuk memuaskan nilai-nilai prestisius superfisial di akun-akun media sosial media miliknya. Sementara masa depan bagi peserta didik ini, tidaklah seindah jumlah jempol yang mereka dapatkan dalam akun-akun media sosialnya, tidak pula seindah dengan jumlah hiburan murah dan terakses yang bisa mereka dapatkan tiada henti lewat gawai yang mereka punya. Ada inflasi besar ke depan. Ada pasar kerja yang tidak seimbang dengan tenaga produktif di miliki. Ada krisis yang mengancam di masa depan.

Perguruan tinggi seharusnya kembali pada fungsinya bukan sebagai lembaga yang dominatif dan birokratis. Menyitir Morgan (2006), tentang peran organisasi sebagai brain yang juga berfunsi dalam proses transformasi masyarakat, maka selayaknya perguruan tinggi memiliki kapasitas yang fleksibel, resilien, dan inventif dalam menghadapi tantangan jaman. Sekaligus seharusnya ia mampu menciptakan sistem yang sensitif dalam mendeteksi, memonitor dan melacak hal-hal signifikan dalam lingkungan, dan dapat melakukan langkah-langkah korektif dalam melihat kesenjangan-kesenjangan yang terjadi secara kontekstual dalam masyarakat yang dihidupinya.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*