Articles

Miss World, Eksploitasi?

Beberapa hari ini TL saya ramai dengan pro kontra Miss World. Berbagai pendapat dari golongan sekterian konservatif lantang mengatakan soal eksploitasi dan penjajahan kapitalisme atas tubuh wanita yang diumbar tidak pada tempatnya.

Menarik dicermati, golongan ini menolak keterjajahan tapi tak menyadari bahwa budaya timur tengah yang mereka percaya, masih menganggap bahwa wanita adalah sumber dosa dan lalai para lelaki. Sementara, di satu sisi, wanita tetap dianggap sebagai makhluk lemah dan tak punya suara. Wanita bukanlah dipertontonkan untuk ruang publik, namun dinikmati di ruang domestik. Yang mereka bicarakan adalah aurat perempuan yang dapat membangkitkan nafsu birahi. Logikanya sumber tragedi syahwat adalah wanita dan bukannya isi kepala pria. Jadi apa relevansi bicara soal eksploitasi, jika yang terjadi justru meneguhkan definisi aurat yang dominan patriarkhi.

Ada perbedaan konsepsi yang sangat jauh antara eksploitasi wanita dan definisi patriarkhi atas aurat wanita. Protes atas penjajahan wanita lebih natural bila dilakukan pada pihak yang memang tak melakukan bentuk penjajahan itu sendiri. Ibaratnya jangan menuding orang lain eksploitatif jika memang diri sendiri diskriminatif. Jangan bilang anti penjajahan jika kaki sendiri juga masih menginjak orang lain.

Apapun adalah realitas bahwa hampir dibelahan dunia manapun selalu terjadi eksploitasi terhadap wanita, dan lagi-lagi wanita dibuat “rela” untuk dieksploitasi. Kapitalisme yang menikah dengan budaya patriarkhi menganggap bahwa tubuh adalah komoditi. Iklan-iklan di media massa, kontes cak-ning, kakang-mbakyu, abang-none juga mengukuhkan ideologi ini. Dan Ini juga bentuk eksploitasi dan pendefinisian atas keindahan dari golongan patriarkhi. Perempuan dijadikan simbol untuk menciptakan citra produk tertentu. Di tahun 1960-an konsep cantik adalah seperti Twiggy, terutama setelah wajahnya dipampang di majalah mode Vogue & Harper. Sejak saat itu orang berlomba-lomba menjadi kurus dan rela melakukan diet ketat, sehingga pada saat yang sama anorexia nervosa dan bulimia mewabah di eropa dan amerika. Sebelumnya perempuan yang punya tubuh seperti gitarlah yang dianggap indah. Dan jauh-jauh sebelum itu perempuan yang berisi dan gemuklah yang dianggap menarik karena dianggap sesuai dengan perlambang dewi kesuburan.

Sementara, di timur tengah sana, perempuan juga dianggap tak lebih bak properti. Perempuan adalah bagian kepemilikan dari empunya laki-laki. Masih jelas dalam ingatan saya, bahwa di satu negara padang pasir sana, bahkan wanita tak boleh menyetir. Alasannya, memperbolehkan kaum hawa menyetir akan berbanding lurus dengan menurunnya tingkat keperawanan.  Bahkan di sana-pun wanita disarankan untuk menutup seluruh wajah (dan bukan hanya kepalanya) karena dikhawatirkan mata si wanita akan terlihat menggoda bagi si pria.

Mereka tak paham, tak semua laki-laki punya syahwat seperti mereka di Arab sana. Tak semua wanita juga rela dan ikhlas mengikuti budaya padang pasir sana. Di Swaziland atau bahkan di pedalaman Papua, para lelaki tak perlu membelalakkan mata dengan perempuan yang bertelanjang dada di jalan-jalan, karena itu adalah bagian dari keseharian mereka. Pikiran mereka jauh dari eksotisme seksual atas payudara karena mereka tak mengenal erotisme itu di kepalanya. Erotisme atas tubuh dan payudara justru secara langsung atau tidak diciptakan oleh mainstream barat dan agama-agama timur tengah. Sehingga ketika kaum sekterian mengatakan bahwa miss world tak sesuai dengan budaya indonesia, itu juga salah kaprah. Kaum hawa di Jawa, Bali dan Dayak bahkan tak memakai penutup dada sebelum masuk agama-agama samawi. Adakah kemudian lelaki terangsang karena melihat payudara di jaman itu?

Terus menerus mengatakan bahwa bagian tubuh adalah syahwat justru merekonstruksi pemikiran yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, yang natural menjadi kotor dan birahi. Ini ibarat anda berulang-ulang mengatakan kepada orang hidup sederhana yang tak bermasalah secara materi, “anda tidak bahagia karena anda tidak punya uang”. Kalimat ini justru dapat membuat lawan bicara anda menciptakan realitas baru yaitu uang sebagai penyebab bahagia, yang mungkin sebelumnya tidak pernah eksis dalam kehidupannya.

Jika toh memang, golongan konservatif tadi harus berteriak, tidak usah kiranya membawa nama “eksploitasi terhadap wanita” karena apa yang mereka lakukan di padang pasir sana, dengan kaca mata yang lain, pada dasarnya adalah eksploitasi terhadap wanita pula. Jangan pula membawa nama Indonesia, karena Indonesia berbeda realitas pula dengan di timur tengah sana. Terakhir saya ingin menyatakan. Baik kaum kapitalis maupun kaum sekterian konservatif sebenarnya setali tiga uang. Mereka hanya menganggap bahwa wanita tak lebih dari alat objektifikasi seksual bagi laki-laki.

74 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*