Oleh Rahkman Ardi,
The endless cycle of idea and action,
Endless invention, endless experiment,
Brings knowledge of motion, but not of stillness;
Knowledge of speech, but not of silence;
Knowledge of words, and ignorance of the Word.
All our knowledge brings us nearer to our ignorance,
All our ignorance brings us nearer to death,
But nearness to death no nearer to GOD.
Where is the Life we have lost in living?
Where is the wisdom we have lost in knowledge?
Where is the knowledge we have lost in information?
T.S. Elliot
————————
Dalam kepercayaan penciptaan manusia, malaikat sempat tercenung bukankah makhluk rasional ini akan selalu mengasah perkakasnya dan akan memakan apapun di sekitarnya. Kisah berlalu sejak homo sapiens terdeteksi melalui sejarah. Hukum kekekalan perubahan memang terjadi. Peradaban manusia mungkin tampak maju dan berevolusi, namun dalam kenyataannya, mitos spiritualisme yang tak terserap oleh ranah indrawi dan tahayul ternyata lebih mampu mengerem perusakan manusia dibandingkan pengagungan rasionalisme selama 4 abad terakhir.
Di saat yang sama rasionalisme telah menghasilkan spirit kemanusiaan yang berdengung keras pada abad ke 18. Semboyan liberte, egalite, fraternite menjadi kredo rasionalitas akan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun apakah semboyan tersebut berbanding lurus dengan pemanusiaan manusia modern.
Humanisme menjadi semangat modern yang bertujuan mengagungkan rasio manusia sebagai pusat semesta alam. Rasionalitas kemanusiaan menjadi spirit di era aufklarung (hal yang dilupakan oleh filsafat skolastik di era sebelumnya) namun sekaligus dengan rasionya, manusia terlalu disibukkan dengan self-realization yang membuat mereka kehilangan makna atas kemanusiaan itu sendiri. Rasio modernitas membawa manusia pada kehampaan spiritual dan nihilisme karena sifat rasio itu sendiri yang hanya bersifat instrumental.
Spiritualitas tak lagi bersifat transenden namun bersifat rasional dimana rasio manusia itu sendiri yang menjadi pusat atas segala sesuatu. Dalam kehilangannya akan spiritualisme yang transenden maka manusia merasa wajib untuk mengekspresikan kebebasan rasionalitasnya sebagai pusat atas dirinya. Voltaire dan David Hume meyakini bahkan tahayul dan spiritualitas adalah pernak pernik irasionalitas yang tak berarti apa-apa dalam kemajuan manusia. Manusia menjadi semakin canggih dalam interpretasi rasional akan dunia. Rilke menggambarkan dalam Duino Elegies bahwa manusia adalah pembentuk dunia ada. Ia secara aktif membentuk dunianya sendiri, tetapi ketika segala sesuatunya telah dikodekan dan ditafsirkan, maka penafsiran ini dibuat berlebihan sehingga manusia menjadi kehilangan jejak dalam memahami dunia itu sendiri.
Dalam masa 400 tahun, manusia menjadi pengagum dan pengagung dirinya yang hanya mengenali subjek yang berada di luar dirinya sebagai objek yang lain. Dostoevksy menuliskan kegelisahannya lebih dari 100 tahun lalu melalui tokoh Kirilov. Ia mengatakan, “Esli net Boga, to ya Bog” (jika Tuhan tidak ada maka aku adalah Tuhan). Dostoevsky gelisah dengan manusia yang nampak kelelahan dalam mengais spiritualitas transenden akibat gempuran rasionalitas dan individualisme. Kegelisahan ini nampak menjadi satu penanda atas manusia yang lelah dan terasing di masa-masa berikutnya. Hal di luar kedirian terlanjur ditahbiskan sebagai objek yang lain dan objek pemuas. Yang lain tak lagi dipahami sebagai subyek yang memiliki nilai-nilai intrinsik kehidupan. Relasi kehidupan antar manusia sendiri pun dipahami tak lebih bersifat mekanistik dan materialistik. Manusia jatuh dalam dilema objektivikasi dan rasionalitas. Ia rentan dalam kebosanan dan berada dalam tedium vitae (kelelahan hidup) akan ciptaan rasionalitasnya sendiri yang kering akan makna.
Barangkali salah satu peristiwa aktual yang menunjukkan tragika hilangnya makna kemanusiaan dan ironi rasionalitas adalah apa yang terjadi pada pertengahan oktober 2011 tentang si malang Wan Yue, seorang gadis dua tahun di Cina, yang ditabrak dan dilindas oleh sebuah mobil Van. Gambar dan video terlampau telanjang memperlihatkan orang-orang yang silih berganti melewati gadis mungil yang lemah bersimbah darah dan tergeletak di aspal jalanan. Mereka yang lewat tak peduli dan hanya melihat Wan Yue bak badan tikus yang tertabrak di pinggir jalan. Wan Yue yang tergolek tak perlu ditangisi apalagi diselamatkan. Tak cukup keacuhan ini, Wan Yue yang sudah tak sadarkan diri masih dilindas lagi oleh truk. Lagi-lagi beberapa orang yang melihat setelah lindasan truk kedua ini acuh. Pengemudi van yang menabrak si kecil Wan Yue bahkan memberikan pengakuan pada polisi setempat, “Jika dia (gadis itu) tewas, saya mungkin hanya membayar sekitar 20.000 yuan (3.180 dollar AS)…. Tapi jika dia cedera, itu mungkin membebani saya hingga ratusan ribu yuan.” (Kompas, 2011, 20 Oktober). Kehidupan Wan Yue tak menjadi prioritas dalam medan hidup orang-orang yang mengabaikannya karena ia tak lebih dipahami sebagai obyek yang jauh berada di luar nilai-nilai ekonomis kongkret untuk bertahan hidup. Seorang penolong datang justru dari pemulung tua yang berteriak-teriak untuk menyelamatkan gadis malang yang tulangnya terlanjur remuk dan terluka parah (Kompas, 2011, 20 Oktober)).
Kehidupan disekitar seringkali tak lepas dari tragika nihilisme yang sama. Tak hanya dalam aspek pengabaian aspek kemanusiaan yang cenderung dipahami dalam sisi ekonomis dan angka-angka. Aspek religiusitas pun dipahami sebagai simbol kuasa untuk mempertahankan eksistensi kelompok dan kepercayaannya. Konsekuensinya, yang berbeda adalah ancaman. Tuhan adalah dirinya. Yang lain tak mempunyai nilai spiritualitas intrinsik yang sama dengan dirinya. Yang lain hanyalah spesies yang berbeda. Mereka yang lain tak hanya halal darahnya, namun mayatnya pun masih harus dipukuli lagi dengan benda-benda tumpul sebagai bentuk bahwa yang mengancam memang harus dipunahkan dari muka bumi. Foto-foto kekejian gambar jasad korban kekerasan di negeri ini dipajang di etalase toko dan halaman depan koran-koran. Penghilangan nyawa orang lain menjadi hal yang lazim dipertontonkan dilayar-layar kaca. Orang mungkin dibuat jijik dan tak tega, namun sekaligus sayup-sayup dipanggil rasa ingin tahunya untuk mengintip buah-buah kekejian manusia yang lain. Orang dipaksa menjadi saksi kekejaman; dibuat cemas, takut dan bergidik; menyumpah serapah; sekaligus mengadaptasi rasa jijik dan takut menjadi bagian dari kesehariannya. Alih-alih mengutuki kekejaman tersebut, namun dirinya tetap dipaksa mengiyakan bahwa hidupnya tak lebih merupakan ancaman dari yang kuat.
Tak cukup dengan urusan menghabisi nyawa orang lain, cerita tentang manusia yang kelaparan dan putus harapan yang harus mengakhiri hidup sendiri berjajar bak deret hitung di berbagai belahan dunia. Kasus bunuh diri di Korea -yang mencapai 40 kasus per hari- (Williamson, 2011) dan juga negara sendiri -yang mencapai 20.831 kasus pada tahun 2010- (World Life Expectancy, 2010) membuat bertanya seberapa besar manusia menghargai makna sebuah kehidupan, sekaligus seberapa besar mereka kelelahan dalam menghadapi hidupnya. Realitas ekonomi, bunuh diri, dan kemiskinan jauh melebihi simbol angka, namun menunjukkan bagaimana realitas kehidupan dan penghidupan manusia.
Apa yang terjadi ini sudah cukup untuk manusia balik bertanya, dimanakah sehatnya manusia modern? Sungguhkah nurani manusia sudah terlampau kering? Sungguhkah psikologi sebagai ilmu yang mengajarkan tentang well-being dan kesehatan mental cukup berperan dalam membuat masyarakat menjadi lebih manusiawi? Benarkah manusia perlu menghayati spiritualitas dan self harmony disaat sistem di luar dirinya begitu mendominasi pilihan sadar serta menentukan aspek normalitas manusia?
BERSAMBUNG
3 Comments