Articles

“Piye kabare? Enak jamanku to?”

Memilih untuk menjadi buta dan tuli dalam ketidaktahuan adalah zona paling nyaman. Dulu semua tampak baik-baik saja, karena kita tidak punya akses apa-apa. Hidup dan makan enak serta semuanya terasa jenak, karena memang pengetahuan akan penderitaan orang lain yang disumbat dan dibuat tidak terlihat. Ketika jaman sudah mulai terbuka, maka arus informasi seakan memaksa orang untuk keluar dari zona nyaman yang tidak mengenakkan. Ibarat ketika sajian makanan dihidangkan di depan mata, kita dipaksa melihat realitas di sekeliling bahwa masih ada orang menderita kelaparan. Makanpun jadi tak nikmat. Sungguh buat orang yang mementingkan perutnya, maka pilihan untuk mengabaikan realitas orang lain adalah pilihan paling nikmat. Tapi masih ada pilihan lain, fakta itu hadir untuk diperhatikan dengan cara yang bertanggungjawab bukan diabaikan.

Sama dengan pengetahuan, mengabaikan fakta ilmiah dan realitas sekeliling adalah pilihan paling aman. Berpikir dan merefleksikan fakta dan realitas itu melelahkan, dan itu belum termasuk tanggung jawab yang menyertai karena pengetahuan yang kita miliki. Berlindung dari dogma lama adalah pilihan paling enak, karena orang tak perlu berpikir keras, dan tak ada tanggung jawab yang menyertai.

Tak mudah merefleksikan realitas, apalagi mengungkapkannya. Resikonya besar dan seringkali membawa korban. Socrates pun dihukum mati minum racun, – orang awam di Indonesia mengenal ini sebagai tragedi Yunani seperti tertulis dalam lirik lagu Panggung Sandiwaranya God Bless. Hypathia pun dieksekusi gereja. Galileo Galilei dan Copernicus pun dilarang bukunya dan dianggap sesat oleh gereja. Rene Descartes dan Thomas Hobbes yang Kristen-pun pernah dituduh atheis dan dilarang karyanya. Dan tak terhitung para filsuf dan ilmuwan lain. Di Islam pun, banyak yang tak siap jika mendengar tokoh kebanggaannya yang menjadi peletak dasar kedokteran modern yaitu Ibnu Sina ternyata adalah seorang Syiah, Al Farabi pun seorang syiah. Begitu juga dengan seorang Ibnu Rushd (Averroesd), salah satu peletak kebudayaan modern di eropa, yang memperkenalkan pemikiran Aristotelian, pun diasingkan karena dianggap sesat. Buku-buku Ibnu Rushd pun dibakar oleh orang Kristen dan Islam di kala itu, karena dianggap sesat. Saat ini banyak orang bangga dengan nama mereka, karena menganggap mereka adalah bagian dari orang Islam yang punya peran besar dalam peradaban modern, tapi sekaligus tak siap dengan kenyataan sejarah bahwa sebagian orang Islam di masanya pun tidak memperlakukan mereka dengan baik, mengkafirkan, memfitnah dan juga membakar bukunya. Kita menjadi mendadak seiman ketika berprestasi.

Sekali lagi, berlindung di balik dogma adalah pilihan paling aman. Berpikir dan berkontemplasi itu melelahkan. Tak semua orang mau menerima apalagi melakukan. Hari-hari di masa lalu yang paling indah adalah ketika kita masih belum tahu. Itu kenapa sebagian orang ingin kembali ke masa lalu ketika mereka masih belum tahu, karena selain pengetahuan itu melelahkan, di dalam pengetahuan ada tanggung jawab yang lebih besar. Itu kenapa tulisan ‘piye kabare? isih penak jamanku to?’ masih banyak bertebaran, tidak hanya di truk-truk tapi juga di wall-wall FB. Itu kenapa menghakimi orang lain tanpa dasar lebih mudah dan enak dilakukan, dibandingkan memahami bagaimana perspektif orang lain. Memahami itu sulit karena harus berpikir. Pengetahuan itu bukan hanya berkah tapi penderitaan, karena sekali kita mengetahui, maka akan ada tanggung jawab yang menyertai.

Lagi-lagi kemudian ujungnya adalah pilihan, mau tetap dalam zona nyaman karena lelah atau malas untuk berpikir dan merefleksikan kenyataan, atau mau berpikir terbuka menerima realitas, lalu kemudian memperlakukannya dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Kata para filsuf dan psikolog aliran humanistik, bahwa yang menjadikan manusia itu manusia adalah karena pikirannya, akal budinya.

16 Mei 2016, 17.44 GMT+1

 

12 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*