Memoir

Memoar waktu

Surabaya, 12 Oktober 2021

 

Setelah kembali pulang dan mengabdi di tempat asal sejak 2017, beberapa kejadian tak terduga tiba silih berganti. Hidup memang adalah persinggahan, di mana manusia hanya merapat sementara, lalu bertolak tanpa terduga.  Pada fragmen kecilnya adalah perpisahan dan pada fragmen besarnya adalah kematian. Empat tahun yang memberikan pengalaman yang bermakna dalam ruang waktu di mana kita melekati dan menghidupinya dengan orang-orang terdekat.

Aku kerap merenungi dan tak habis bertanya soal apa itu kepergian dan kenapa serta bagaimana manusia hidup. Kita dilempar-lempar dalam sebuah ketidakpastian pada kehidupan yang kita sendiri tak pernah memintanya. Para filsuf eksistensial kerap mengatakan, “Keterlemparan manusia ini yang membuatnya selalu mengais-ngais makna sepanjang hidupnya, apapun maknanya.”

Makna yang membuatnya bertahan sekaligus pada beberapa orang terobsesi untuk menaklukkan hidup dengan jejakkan kakinya. Penaklukkan seperti apa? Berjejak agar abadi? Jangan banyak tanya! Penaklukan dan eksplorasi adalah sifat DNA spesies kita yang sudah terwarisi.

Sebentar! Bukankah hidup manusia perseorangan perlahan memudar dari yang awalnya lahir, berjejak, dan bersinar, lantas tiba-tiba ringkih, dan wafat. Kita tidak pernah bisa melawan penuaan dan kematian. Kita tidak pernah bisa melawan kehidupan dengan detik-detik waktu yang terus berjalan. Kita hanya membersamai tantangan hidup dengan berusaha mengubah garis nasib yang kita sendiri tak pernah tahu apakah semesta akan mendukung usaha yang kita lakukan atau tidak. Hidup bukan untuk ditaklukkan, ia hadir untuk dialami dengan penghayatan hingga ujung pangkalnya. Usaha untuk mengubah nasib dan kenyataan hanyalah satu bentuk dari cara dan penghayatan dalam menghadapi garis waktu yang kita sama sekali tak punya kuasa menghentikannya. Tapi itu semua tak sama sekali menaklukannya.

Ketika aku kehilangan satu-satunya saudara kandung, kakakku. Kubayangkan perjalanan dan perjuangannya dalam membersamai hidup. Dalam kacamataku, hidupnya bukanlah hidup yang mudah. Sempat kukatakan ia menaklukan dan membalikkan hidupnya. Namun, adakah manusia di dunia ini yang benar-benar menaklukan hidup? Kakakku memang pejuang dan pengelana hebat dan aku menjadi saksinya. Aku pun yakin kamu semua dengan perjalanan ceritanya juga pejuang dan lakon dalam ceritanya masing-masing. Namun, ketika saat tubuh sampai pada batas kerapuhannya, maka tiba-tiba kita tersadar akan ketaklukan pada waktu. Waktulah yang berkuasa dan menjadi pemenang.

Semua perjalanan ini berakhir saat nafas pun sudah tak mampu melanjutkan. Dan semuanya berhenti. Tak ada yang tersisa, kecuali kenangan yang tertinggal dari mereka yang meninggal. Pada yang ditinggal, kenangan-kenangan itu dihidupkan subjektif hingga kolektif untuk menjaga keseimbangan pada yang ditinggalkan. Apakah itu abadi? Pelan-pelan semuanya pun memudar. Saatnya pun definisi dari “aku yang pernah hidup” hanya bergantung pada persepsi yang relatif dari masing-masing orang yang ditinggal, tanpa kontrol dan kuasa apapun. Dan kenangan itu lama kelamaan akan terlindas pada hiruk pikuknya waktu yang menuntut untuk bertahan sampai ajal sendiri menjemput.

Sementara pada yang pergi, hanya jadi jasad yang tak lagi punya kuasa atas dirinya peristirahatan terakhir.

Kita hanyut dalam sedih. Ingat pada yang meninggal. Kita lantas sejenak lupa pada yang hidup. Sementara yang hidup pun satu-persatu akan meninggalkan kita, tidak tahu dimulai dari siapa.

Lantas ketika kita mulai kembali pada kesadaran untuk membersamai dan menghidupi waktu dengan yang hidup; kita tertawa, bertengkar, dan bersedih. Dan kita terlupa lagi seakan yang kita punya dan genggam tak akan pernah sirna. Sementara besok, salah satu dari kita bisa tutup usia tiba-tiba. Kita pun akan kembali sendiri. Pada akhirnya, tawa dan air mata hanya berlaku pada saat dan momennya karena waktu bisa dengan mudah membalikkannya.

Siapa dari kita yang akan bertahan menghadapi ketidakpastian waktu? Kamu yang paling melekat? Apakah kamu telah bersetia dalam hidup yang diombang ambing dalam ketidakpastian? Apakah kamu sendiri menuntut orang lain pada apa yang kamu sendiri tidak atau sulit melakukannya?

Kamu dan aku atau kita atau siapapun tak punya kuasa atas waktu. Pada siapapun dan apapun yang hidup dalam dimensi waktu, maka ia berada dalam takhtanya. Hanya waktu yang menjadi pemenang. Apa yang dipunya akan tercuri, apa yang dilekati akan pergi, bahkan pada tubuh yang telah setia menjadi naungan kita.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*