Memoir

Keep Walking

Di tengah break atas persiapan ujian dan sidang, saya membuka folder usang di komputer saya. Seperti lagu saya merasa terjebak nostalgia ketika membuka gambar demi gambar. Semua pengalaman yang pernah saya lalui seperti film di kepala saya. Semua hingga saat ini menyisakan senyum.

Saya mencoba mengambil jarak dengan diri saya sendiri. Saya harus jujur bahwa apa yang saya jejakkan lebih dari apa yang pernah saya pikirkan. Sebagian besar jalan hidup yang membawa saya sampai saat ini adalah jauh dari apa yang pernah saya bisa idamkan.

Saya bukanlah motivator yang bisa menyemangati orang dengan kata berbunga-bunga untuk membuat orang bergairah dalam mencapai tujuan hidupnya. Saya pun tak bisa mengklaim bahwa hidup saya lebih baik atau lebih buruk dari orang lain. Saya bukan pula orang yang sering bicara dan percaya soal gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bukan pula orang yang selalu bisa mengajak orang untuk berpikir positif dan optimis akan hidup. Saya pun bukan orang yang kuat seperti yang banyak orang pikirkan tentang saya. Saya bukan pula orang cerdas seperti apa yang banyak orang lain katakan. Tidak jarang saya menyesali dengan keputusan-keputusan yang saya ambil dalam hidup. Dengan segala keterbatasan saya, saya beberapa kali mempertanyakan secara retrospektif apa-apa yang sedang saya jalani. Saya pun bukan orang yang cukup percaya diri dengan kemampuan saya. Intinya saya tak menuntut diri saya untuk selalu berpikir positif akan diri saya, bila memang keadaan saya saat itu tidak bisa. Saya tak bisa menuntut diri saya untuk kuat bila saya memang dalam keadaan lemah. Tentunya saya respek bagi mereka-mereka yang mempunyai trait bersemangat, konsep diri yang positif. Tapi sungguh itu bukan saya.

Ada sebuah pengalaman yang terlintas manis ketika saya membuka album saya di Ural. Saya ingat pernah terjebak di luar dengan suhu di bawah -25 di sebuah desa di Ural pada saat kami menghabiskan liburan musim dingin. Wajah saya saat itu berasa seperti ditampar berkali-kali. Sakit karena dingin. Sementara wajah saya tidak tertutup sama sekali. Kaki saya menggigil karena sepatu dan kaos kaki saya yang memang tidak cukup layak untuk suhu seperti itu. Tidak ada transport yang tersedia. Dingin dan angin yang menampar wajah saya adalah siksaan besar, sementara saat itu tidak ada tempat pemberhentian untuk menghangatkan badan. Saya dan teman terus berjalan. Kondisi fisik saya saat itu seakan mengatakan saya sudah tak bisa melanjutkan jalan kembali. Tapi saya tahu, saya tidak punya pilihan selain berjalan dan berjalan hingga sampai pada tujuan akhir yaitu rumah teman saya. Di tengah rasa sakit, dan orientasi waktu yang begitu kacau karena 30 menit itu berasa seperti sangat lama sekali, ada saat dimana terlintas dalam pikiran saya, bahwa sampai pada tujuan atau tidak sudah tak penting lagi, yang penting hanyalah satu…. berjalan dan berjalan. Dengan ngilu dan sakit didera dingin pada kulit dan tulang serta nafas yang tersengal-sengal, saya akhirnya sampai di rumah teman saya.

Ada cerita lagi. Pada semester pertama saya mengikuti perkuliahan master, saya merasa tidak mampu dan seakan ingin menyerah dengan kuliah saya. Beban bahasa yang sulit dimengerti membuat saya ingin berhenti. Membaca lembar demi lembar text book tak ada satu kata pun yang bisa saya pahami. Saya ingin menyerah. Saya menangis. Perasaan saya galau dan campur aduk. Panik. Namun ditengah keputusasaan itu, saya tidak berhenti untuk membacanya terlepas kemudian saya masih tidak mengerti. Saya membuka halaman satu, dua, tiga, hingga dua puluh tak ada satupun maksud yang bisa saya mengerti. Saya menangis lagi. Bayangan saya adalah saya akan pulang dengan kegagalan. Saya bukan orang yang cukup positif bisa menyemangati diri saya. Tapi apapun ditengah pesimisme itu, saya tetap membacanya. Hingga ada satu hal yang ajaib yang saya sadari belakangan, ternyata lambat laun saya mengerti. Dan begitulah kemudian ternyata neuroplasticity dari otak kita. Jalan- jalan neuron di otak kita akan selalu berkembang, membuat jalur-jalur sendiri dan beradaptasi dengan apapun pengalaman kita. Bila kita tak mengerti dan terus membuka halaman itu satu demi satu, maka pola itu akan terbaca. Dan perlahan-lahan kita akan memahaminya. Dibalik keputusasaan sekolah yang pernah saya alami waktu itu, saya menjalaninya dan melewatinya hingga habis.

Begitu pula dengan studi doktoral saya. Ada satu masa saya menyesali keputusan saya untuk mengambil sekolah S3. Saya dibuat stress dengan pekerjaan saya sebagai mahasiswa S3, saya sendiri tidak yakin bisa melewati semua fasenya. Ada suara hati yang bicara bahwa saya sudah lelah… saya ingin berhenti mencoba. Dalam dua tahun terakhir bahkan saya kehilangan passion dengan pekerjaan saya. Saya frustasi dengan diri saya sendiri. Tapi saya tahu, ditengah rasa sesal dan ketidakyakinan itu, saya tetap harus menulis, terlepas itu kemudian akan diobrak abrik oleh supervisor atau reviewer. Saya tidak akan berhenti menulis walaupun semua yang saya tulis akhirnya mentah. Terlepas setelah tulisan saya dikembalikan saya kemudian berteriak-teriak dalam hati, karena pada beberapa hal saya kadang tidak terima dengan feedback yang saya dapatkan, tapi tetap akhirnya saya kembali menulis. Saya akan jalani semua konsekuensi atas pilihan yang sudah saya ambil sampai saya memang sudah tidak bisa berpikir dan menulis lagi. Dan saya menyadari hanya ada beberapa hal yang membuat saya tidak bisa ‘berjalan’ lagi, yaitu saya mendadak gila atau saya meninggal. Ada satu hal yang tidak pernah hilang yang selalu membisikkan di nurani saya, “teruslah berjalan!,” “jalani!”.

Hari ini saya berpikir, jika saya menjadi orang lain atau misal saya mengambil keputusan hidup yang berbeda beberapa belas tahun yang lalu adakah jaminan saya tidak akan menyesali keputusan yang sudah saya ambil. Bisa jadi saya tetap menyesal. Ambil kata saya jadi seorang musisi, adakah Ardi yang musisi tidak akan menyesal dengan pilihannya menjadi musisi. Belum tentu. Dalam segala pilihan hidup kita tidak pernah tahu konsekuensi apa yang akan kita dapatkan sampai benar-benar menjalaninya. Penyesalan bisa terjadi dalam setiap keputusan hidup dan jadi apapun kita. Bila toh waktu bisa diulang dan kita dibuat bisa memilih sekali lagi akan jadi apa, tak ada jaminan kemudian kita tak akan pernah menyesal dengan keputusan baru yang sudah diambil lagi. Saya bukan orang yang bisa mengatakan hal yang indah, positif dan berbunga-bunga soal hidup, tapi bagi anda-anda yang memang melankolis dari sananya, menangislah bila memang ingin menangis, mengeluhlah bila ingin mengeluh… tapi ada hal yang benar-benar harus kita sadari bahwa jadi apapun kita, kita tidak akan pernah luput dari rasa itu dan tentunya kita tak bisa menafikkan rasa yang berkebalikan dari itu pula. Dalam keadaan apapun, dalam keadaan sedih, kecewa, putus asa, bahkan lelah tetaplah berjalan. Dalam perjalanan itu kita akan berjumpa dengan banyak hal, tak selalu indah karena mungkin akan banyak kesulitan baru, mungkin kita akan berbelok arah, tapi seringkali ada keajaiban yang kita tak pernah sangka apapun haluan, perjalanan, dan keputusan yang kita ambil. Tetap berjalan bahkan walaupun pikiran kita sendiri sudah berteriak-teriak dan mengumpat bahwa kita sudah lelah dan tidak bisa berjalan lagi. Tetap berjalan sampai anda gila dengan berjalan dan mati dengan perjalanan anda. Tidak ada makna akhir dalam hidup ini, karena makna itu hanya ada dalam perjalanan itu sendiri hingga kita sudah tidak bisa bernafas lagi.

5 Comments

  1. Pingback: houston junk car buyer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*